Thursday, November 29, 2012

PENDIDIKAN HANYA CIPTAKAN BUDAYA ANGKA


Kebijakan operasional pendidikan saat ini terlalu mendewakan angka atau memakai solusi kuantitatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Akibatnya, telah terjadi dehumanisasi dan sekolah-sekolah hanya membentuk robot. "Tuhan kita sekarang angka sehingga perhatiannya terpusat ke kuantitatif. Semua capaian dilihat dari angka. Semua jadi hanya mengejar angka. Anak-anak menjadi instrumentatif. Ini budaya kuantifikasi," kata Jalaluddin Rakhmat. Fenomena mendewakan angka ini mulai terlihat dari kebijakan pemerintah antara lain dalam penetapan akreditasi sekolah dan perolehan nilai atau prestasi siswa. Karena budaya kuantifikasi itu, lalu muncul suasana kompetitif dan justru membentuk individu yang akan berusaha memperoleh nilai baik dengan cara apa pun. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat. Bahkan, sistem pendidikan yang mengutamakan angka atau kuantitatif mulai menuai kritik dan protes masyarakat AS. "Semua diukur dengan angka dan bukan lagi pendidikan yang memerdekakan," kata Jalaluddin. Ujian nasional merupakan salah satu contoh budaya kuantifikasi. Ini terlihat dari kebijakan  penyelenggaraan ujian nasional (UN). Kemampuan siswa hanya dinilai dari angka perolehan hasil UN dan nilai rapor serta tidak dilihat secara keseluruhan. Siswa dengan nilai UN yang lebih tinggi lantas memiliki peluang lebih besar untuk diterima di sekolah yang dinilai bermutu. "Tidak adil menilai kualitas sekolah semata-mata dari nilai rata-rata UN lulusannya karena inputnya berbeda-beda di setiap sekolah. Kualitas pendidikan yang berbeda tidak bisa diuji dengan ujian nasional," kata Elin Driana, pemerhati pendidikan dari Education Forum. Karena terlalu fokus pada angka, Elin menilai siswa Indonesia tidak siap menghadapi tantangan dunia saat ini dan masa depan. Ini terlihat dari hasil The Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang menunjukkan kemampuan siswa Indonesia di bidang matematika, membaca, dan sains yang rendah yakni di urutan ke-54 (kemampuan membaca) dan urutan ke-59 (sains dan matematika) dari 65 negara yang dinilai. PISA merupakan penilaian terhadap anak-anak berusia 15 tahun dalam mengaplikasikan pengetahuan dan kemampuan di bidang matematika, membaca, dan sains untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan abad ke-21. "Pembelajaran di sekolah hanya fokus pada kemampuan berpikir rutin, bukan melatih kemampuan siswa menyelesaikan masalah sehingga siswa tidak kreatif," kata Elin.
Ruang kelas
Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan, pemerhati pendidikan Soedijarto menilai tidak perlu mengubah kurikulum terlebih dahulu. Ia justru menilai ada yang salah di ruang kelas. Arah pendidikan nasional yang diterjemahkan ke dalam kurikulum secara konsep sudah bagus. Hanya saja tidak dipraktikkan. "Seharusnya anak-anak belajar menyelesaikan persoalan. Ruang kelas jarang mengajarkan cara hidup bersama dalam keberagaman. Yang salah itu ruang kelas kita, bukan kurikulumnya," kata Soedijarto. Untuk memerdekakan pendidikan, Jalaluddin menyarankan agar memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum. Karakter yang dibutuhkan siswa sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan di masa depan adalah empati, kerja sama, keterbukaan dan pikiran kritis, serta semangat penemuan yang tiada henti.

Kronologi Perang Dunia II


A.   Pendahuluan
Belum lagi kering darah yang tercecer pada Perang Dunia I, rakyat Eropa kembali dihadapkan pada situasi yang memilukan yaitu pecahnya Perang Dunia II. Perang Dunia I membawa dampak yang sangat tidak menguntungkan bagi pihak mana pun. Negara-negara yang kemudian mengalami krisis mulai menerapkan cara dictator dan menganut faham ultranasionalisme, diantaranya adalah :
a.       Jerman dengan Lebensraum
b.      Italia dengan Italia Irredenta
c.       Jepang dengan Hakko Ichiu
Faham yang mereka anut tersebut mengandung pengertian bahwa kepentingan negara diatas segala-galanya. Mereka merasa berhak untuk menguasai negara lain selagi untuk kepentingan bangsanya. Kekuasaan dijalankan secara otoriter dan rakyat dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Mereka menanamkan faham bahwa rakyat harus rela mengorbankan segalanya demi kepentingan bangsa dan negara.

B.   Lahirnya Negara-negara Fasis
a.      Nazi Jerman dibawah Hitler
Kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, membawa dendan kesumat bangsa Jerman, betapa tidak, kekalahan mereka pada Perang Dunia I yang berakhir dengan perjanjian Versailles yang telah membawa dampak amat buruk bagi bangsa Jerman. Jerman berkeinginan untuk membalas dendam atas kekalahan dan penghinaan bangsanya  ( revanche of idea ) terhadap Prancis dan Inggris. Perjanjian Versailles bagi Jerman sebagai penyebab kesengsaraan bangsa Jerman dimana munculnya kesengsaraan rakyat dengan banyaknya pengangguran, perindustrian hancur, inflasi ( penurunan nilai mata uang ) tidak dapat dikendalikan, perdagangan berhenti, kapal-kapal dagang Jerman harus diserahkan kepada Inggris sebagai kompensasi Perang. Kekacauan yang terjadi di Jerman kemudian melahirkan 3 (tiga ) partai politik yang ingin berkuasa atas Jerman, yaitu :
1.       Partai Spartacis ( Komunis ) dibawah Liebkknecht
2.       Partai Social Democrat dibawah Ebert
3.       Partai Nasionalis dibawah Adolf Hitler dan Jenderal Ludendorff
Hitler melalui Partai Nasional Sosialis ( Nazi ) mencita-citakan keagungan Jerman sebagai ras yang unggul dan menurutnya ras Aria diciptakan untuk memimpin dunia.
Usaha yang dilakukan Hitler :
a)      membangun angkatan perang yang kuat
b)      membangun industri secara besar-besaran untuk mengatasi pengangguran
c)      melakukan propaganda agar rakyat Jerman mendukung Nazi
d)      mengobarkan semangat anti Yahudi dengan mengusir dan membunuh orang    
e)      Yahudi
f)        menolak perjanjian Versailles dan menolak membayar kompensasi perang
g)      membentuk dinas polisi rahasia ( Gestapo ) yang bertugas menangkap dan menembak lawan politik Nazi. Pada tanggal 1 September 1939 Jerman Menyerbu Polandia, akibat ulah Jerman tersebut Perancis dan Inggris menyatakan Perang terhadap Jerman.

b.      Fasis Italia
Fasisme adalah faham yang mengutamakan negara diatas segala-galanya, semua untuk negara (absolut). Pemerintahan dijalankan secara dictator dan system ekonomi yang dipakai adalah system ekonomi terpimpin. Faham Fasisme di Italia timbul dibawah pimpinan Benito Mussolini pada tahun 1919 dengan didirikannya Fascis Italiani di Combattimento ( Partai Fasis ). Mussolini berpendapat bahwa Italia adalah pewaris kerajaan Romawi karena itu ia berkeinginan untuk menguasai negara-negara lain yang pernah menjadi bagian dari kerajaan Romawi. Sebenarnya Italia adalah salah satu negara pemenang pada Perang Dunia I, akan tetapi Italia mengalami kerugian dimana daerah Irredenta belum dikembalikan dan rusaknya system perekonomian dan tatanan kehidupan Italia akibat Perang Dunia I, hal ini di perparah dengan kepemimpinan semasa Raja Victor Imanuel III yang tidak cakap memimpin Italia, oleh karena itu timbulah faham Fasis yang dibawa oleh Benito Mussolini. Strategi yang digunakan Mussolini untuk mencapai kejayaan bagi Italia adalah :
1.       Melakukan Kudeta terhadap Raja Victor Imanuel agar menyerahkan kekuasaannya.
2.       Melakukan propaganda tentang semangat Italia Irredenta sebagai alat penyatuan Italia.
3.       Mobilisasi angkatan perang.
4.       Menguasai Laut Tengah sebagai Mare Nostrum ( laut kita ) Italia.
5.       Melakukan Invasi terhadap Ethiopia dan Albania.

c.   Fasis Jepang
Pada tahun 1930-an Jepang menjalin persekutuan dengan Jerman dan Italia. Sebagaimana kedua negara tersebut Jepang melancarkan perang untuk memperkuat kedudukan terkuat diwilayahnya. Sekira tahun 1914 Jepang mengalami kemajuan yang amat pesat dalam bidang persenjataan. Dengan dilandasi keyakinan bahwa bangsa Jepang sebagai anak Dewa Matahari ( Amaterasu Omikami ) Jepang menganggap bahwa
bangsanya adalah bangsa tertinggi dan menganggap bahwa bangsa lain adalah rendah derajatnya. Berdasarkan dua hal diatas Jepang melancarkan ekspansinya untuk merebut dan menguasai negara-negara yang terletak di Asia-Pasifik. Usaha yang dilakukan oleh kaisar Hirohito adalah :
1.       Melakukan modernisasi angkatan perang.
2.       Mengagungkan semangat Bushido ( Jalan Ksatria ) sebagai semangat berani mati untuk membela negara dan kaisar.
3.       Mengenalkan ajaran Shinto Hakko Ichiu ( dunia sebagai satu keluarga ) dan Jepang sebagai pemimpin dunia.
4.       Menyingkirkan tokoh politik yang anti militerisme.
5.       Melakukan propaganda gerakan Jepang sebagai Cahaya, Pemimpin dan Pelindung Asia yang akan membebaskan negara asia dari belenggu penjajahan Barat.
6. Memperluas pengaruhnya di Korea, Manchuria dan China.

Tuesday, November 27, 2012

ASPEK KECERDASAN KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTORIK


1.  Kognitif
Aspek kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, menegtahui dan memecahkan masalah. Menurut Bloom (1956) tujuan domain kognitif terdiri atas enam bagian :
a.   Pengetahuan (knowledge)
mengacu kepada kemampuan mengenal materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar. Yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar.
b.   Pemahaman (comprehension)
Mengacu kepada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berfikir yang rendah.
c.   Penerapan (application)
Mengacu kepada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan dan prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada pemahaman.
d.   Analisis (analysis)
Mengacu kepada kemampun menguraikan materi ke dalam komponen-komponen atau faktor-faktor penyebabnya dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga  struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berfikir yang lebih tinggi daripada aspek pemahaman maupun penerapan.
e.   Sintesa (evaluation)
Mengacu kepada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru. Aspek ini memerluakn tingkah laku yang kreatif. Sintesis merupakan kemampuan tingkat berfikir yang lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya.
f.    Evaluasi (evaluation)
Mengacu kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan tertentu. Evaluasi merupakan tingkat kemampuan berfikir yang tinggi.
Urutan-urutan seperti yang dikemukakan di atas, seperti ini sebenarnya masih mempunyai bagian-bagian lebih spesifik lagi. Di mana di antara bagian tersebut akan lebih memahami akan ranah-ranah psikologi sampai di mana kemampuan pengajaran mencapai Introduktion Instruksional. Seperti evaluasi terdiri dari dua kategori yaitu “Penilaian dengan menggunakan kriteria internal” dan “Penilaian dengan menggunakan kriteria eksternal”. Keterangan yang sederhana dari aspek kognitif seperti dari urutan-urutan di atas, bahwa sistematika tersebut adalah berurutan yakni satu bagian  harus lebih dikuasai baru melangkah pada bagian lain.

MEMBANGUN BANGSA BERKARAKTER SANTUN MELALUI PENDIDIKAN NILAI DI SEKOLAH


Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd

Dewasa ini, tidak sedikit orang menggunakan lidahnya secara bebas tanpa didasari oleh pertimbangan-pertimbangan moral, nilai, maupun agama. Akibat kebebasan tanpa nilai itu, lahir berbagai pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat. Demo mahasiswa  sebagai komunitas intelektual, kini seringkali diringi oleh kata-kata hujatan yang jauh dari etika kesantunan. Demikian halnya dengan bentuk ketidakpuasan anggota DPR terhadap pimpinan DPR dan pemerintah, tidak sedikit yang menyampaikannya dengan ungkapan yang jauh dari nilai-nilai kesantunan. Dalam konteks pergaulan seharihari, kini tidak sedikit kaum remaja Indonesia yang tampak seolah tidak mengenal etika kesantunan yang semestinya ia tunjukan sebagai hasil dari pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi demikian menjadikan terkikisnya karakter bangsa Indonesia yang sejatinya dikenal dengan bangsa berkarakter santun.

Dalam studi yang dilakukan di SMU Negeri 2 Bandung (2002), diperoleh hasi kajian bahwa ada anak didik yang berperilaku santun dan ada pula yang tidak santun. Perilaku santun terlihat dari sikap anak didik saat bertemu dengan guru, karyawan, dan dengan anak didik sendiri, seperti jabatan tangan dan cium tangan. Ucapan-ucapan yang menggambarkan kesantunan seperti: permisi, terima kasih, mohon maaf disertai senyum hormat dan sebagainya. Sikap tidak santun muncul saat ada teguran, perintah, atau larangan yang tidak sesuai dengan hati nurani anak didik,seperti ucapan kata-kata jorok.

Upaya untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang bertutur kata santun merupakan hal yang sangat penting. Karena masyarakat sekarang ini tengah bergerak ke arah yang semakin maju dan modern. Setiap perubahan masyarakat melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu yang berkaitan dengan masalah nilai dan moral. Misalnya kemajuan bidang komunikasi melahirkan pergeseran budaya belajar anakanak dan benturan antara tradisi Barat yang bebas dengan tradisi Timur yang penuh keterbatasan norma. Demikian pula dampaknya pada nilai-nilai budaya termasuk tata cara dan kesantunan berbahasa di kalangan generasi muda termasuk pelajar. Dalam kondisi ini, pendidikan (khususnya sekolah) dituntut untuk memiliki kemampuan mendidik dan mengembangkan etika berbahasa santun agar anak didik dapat berkomunikasi dengan lebih baik. Sebab bagaimanapun berbahasa yang baik merupakan cermin kepribadian yang baik.