Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M),
memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan
Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil(nama yg
diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh
Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu
Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau
mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya);Syekh
Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu
komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni
kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab
di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama
filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara
biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh
Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya
kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad
Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam
Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit;
Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan
Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; danSyekh Sunyata
Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama
Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal
muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg
berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga
jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh
Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia
di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa”(menyatu rasa ke dalam
Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik
maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer
bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia
adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia
terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia
manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai
nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali
Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar
Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah
tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang
atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan
dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan
’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin
bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid ‘Alwi
‘Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid ‘Ali Khali Qasam bin
Sayyid ‘Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma’ah bin
Sayyid ‘Alwi al-Mubtakir bin Sayyid ‘Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin
Sayyid ‘Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid ‘Ali Al-’Uraidhi
bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam ‘Ali Zainal
‘Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia,
Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an
dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12
tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia
bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu
Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah
pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. Kesultanan Malaka adalah di
bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara
Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus
pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh
Syamsuddin Ahmad. Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan
istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu
Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid
Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus
Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan
ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada
saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah
al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk
wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar
bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan,
untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far
al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah,
Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada
Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil
karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah
Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli,
Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid
Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru
kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan
Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat
untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah
dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah:
Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai,
Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M
(Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah
Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S.
Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani,
Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil
Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta,
2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud,
Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza
Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The
History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban
larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah
tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai
titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur.
Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh
Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg
dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg
diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang
munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer
tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing,
punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing
dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil
saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….serat Candhakipun
Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002,
hlm. 1>
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia
walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup
sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur
budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian
dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka,Syekh
Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh
‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah
Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini
adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal
dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di
Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu
keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari
al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia,
menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg
bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah
Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib,
menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek
buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat
dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin.
Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar
agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh
Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang
putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar
adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di
Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut
kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad
Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang
menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul
Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya
sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan
ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh
memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi
Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk
Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh
Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh
Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg
sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan
lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah
kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan
sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg
diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu
menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat,
serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama
Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada
sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh
Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg
berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh
halus]
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan
berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir,
musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua.
Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn
pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun
1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar
17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di
Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk
mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari
“sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para
pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari
kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur
Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal
lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak
lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga,
niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang
Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga
dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan
dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan
melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas
dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju
Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal
sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar
bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar
antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari
pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep
“nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai
kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan
banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan
baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar
emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San
Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji
laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti
jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar
Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh
Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama
keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini
membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg
menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia);
jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah
berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba
sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan
ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari
keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin
memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci
Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi
bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang
perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi
perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap
gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat
maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah
semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allahitu
optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan
tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah.
Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan
pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan
tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui
diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu
kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya
memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar
Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab
di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi
kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul
Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham
Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi
sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab
al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995),
Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya
Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Dindan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali
(w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal,
Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu
pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas
Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali
mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para
wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat.
Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan
beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak
menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui
lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada
3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal
Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg
paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq,
al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil
(Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir).
Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul
Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak
sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu
sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor,
jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses
pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara
praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu
‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg
digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap
mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg
sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti,
sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam
berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak
memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan
mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’
khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan
membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan
di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik
sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai
pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg
menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn
umumnya manusia); dan lawami’(mengejawantahnya cahaya rohani akibat
tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya
cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia
mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya.
Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari
kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya
dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg
berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni
(mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku,
sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca
dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar,
fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai
cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di
sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah“al-Insan sirri
wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi
‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf
al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik
dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di
dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik
dan menemui akhir hayat secara biasa.
Sumber :
(Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari
(Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta,
1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta,
1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus
Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan
Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817),
by, Hasani Al Majawy
(http://kampussamudrailmuhikmah.wordpress.com)