Wednesday, April 25, 2012

Kepalsuan di balik Ujian Nasional, Keterpurukan Nilai Pendidikan di Indonesia

 
Sungguh sangat ironis melihat wajah pendidikan di Indonesia, saat-saat menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagaikan sebuah penantian hukuman mati. Berbagai cara ditempuh untuk meluluskan para siswa mulai dari Bimbingan belajar tambahan, try out ujian nasional dan berbagai hal yang menyangkut hal-hal yang tidak rasional seperti ziarah ke makam-makam para wali, dan hal-hal yang bersifat religius dengan mengadakan do’a dan pengajian bersama yang kesemuanya bertujuan untuk memberikan ketenangan bagi para peserta dalam menghadapi ujian nasional.
Namun terkadang kita bertanya dalam benak kita, seolah-olah UN adalah harga mati dalam menentukan nasib para siswa untuk dapat lulus dari suatu tingkatan pendidikan tertentu, sehingga timbul pertanyaan mendasar apakah fair bahwa kelulusan hanya di tentukan oleh 4 bidang studi yang ada dalam UN sehingga mengabaikan aspek mata pelajaran lain yang seolah-olah tidak penting.
Semakin besar tingkat kelulusan, maka pihak sekolah akan di nilai berhasil. Meskipun untuk mencapai tingkat kelulusan itu digunakan cara-cara yan tidak tepat.Tidak dipungkiri lagi cara-cara yang tidak tepat itu sudah menjadi langganan setiap adanya UN. Hal itu bukan tidak diketahui oleh pihak lain seperti orang tua siswa yang berhimpun di Komite sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Tetapi kerena tuntutan tingkat kelulusan maka semua pihak tidak mempersoalkan cara-cara tersebut. Itu dapat terlihat dari sistem yang diberlakukan pada UN.
Setiap pengawas akan dilakukan pertukaran dengan sekolah lain. pengawas dari sekolah berbeda tersebut hanya akan sebagai robot pengawas yang hanya akan menegur peserta ujian ketika ribut dan bertanya pada peserta ujian lainnya. Tetapi tidak akan menegor ketika ada pihak sekolah yang memberikan jawaban UN tentunya dengan cara yang sudah dikondisikan agar seolah-olah tidak terjadi kecurangan. Lalu jawaban itu akan berpindah-pindah ketangan peserta lain. sementara pengawas ketika melihat perpindahan bocoran jawaban itu akan bersikap seolah-olah tidak melihat. Bahkan hanya berkata, "Jangan ribut".

Bahkan dengan kondisi saat ini jawaban dikirim melalu SMS ke nomor HP salah seorang siswa setiap ruangan ujian dengan menggunakan nomor HP baru. Padahal sebelumnya telah ada kesepakatan antar pihak sekolah dengan siswa yang akan di berikan SMS tersebut. Kejadian seperti itu seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah dimata setiap orang yang terlibat dalam pelaksanaan UN. Padahal cara-cara seperti itu adalah bibit merusak kepercayaan gernerasi muda. Ironisnya ketakutan dan ketidakpercayaan secara tidak sadar terlaksana oleh karena perbuatan pemerintah dalam pelaksanaan UN ditambah lagi persekolahan yang secara tidak benar melakukan pendidikan. 

Hal itu bisa terlihat dengan peran serta pihak sekolah dalam mengisi ilmu pengetahuan para siswa. Baru ketika akan UN semua elemen sekolah sibuk melakukan les tambahan. Pemberian les tambahan itu bukan karena kebutuhan para siswa yang secara langsung diminta kepada pihak sekolah, tetapi karena ketakutan akan rendahnya tingkat kelulusan sekolah. Sehingga kalau rendah maka popularitas sekolah tersebut bisa buruk. Yang berakibat bisa menurunnya siswa baru pada tahun ajaran mendatang, disamping itu pengadaan les tambahan adalah menghindari tuduhan kesalahan kepada pihak sekolah ketika tin gkat kelulusan rendah, karena tidak melaksanakan les tambahan. Bahkan ironisnya ketakutan kepala sekolah digeser dari jabatannya saat ini. Sehingga cara-cara yang tidak layak pun dipergunakan untuk mengatasi UN tersebut. Celakanya bahwa UN dalam pelaksanaannya secara general adalah sumber manipulasi dan sarat kecurangan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar pendidikan, beberapa modus penyelewengan dalam UN dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 
1.     Oknum yang berkompeten bekerjasama dengan pihak-pihak tertentu membocorkan soal UN dan menjualnya dengan sistem stelsel yaitu membuat kunci jawaban dan menyebarkannya melalui SMS untuk mendapatkan imbalan. 
2.      Pihak sekolah dengan berbagai cara membuat kunci jawaban dan menyebarkannya melalui siswa-siswa tertentu yang diberi kepercayaan untuk membagikan kepada teman-temannya yang lain. 
3.      Oknum pendidik atas instruksi atasannya untuk menjadi tim sukses dengan trik tertentu untuk dapat mengganti lembar jawaban siswa. 
4.      Oknum Dinas pendidikan dan para penyelenggara membuat semacam MOU haram dengan menyerahkan sejumlah uang agar sekolahnya dapat lulus UN, bahkan mengisi lembar jawaban UN hanya menjadi formalitas belaka. 
5.      Oknum kepala daerah memberikan instruksi agar kepala dinas pendidikan dan kepala-kepala  sekolah mengusahakan semua siswa yang mengikuti UN dapat lulus agar citra SDM seolah-olah mengalami kemajuan yang signifikan atas dasar menjaga prestise dan prestasi daerah dan prestise lembaga pendidikan.

Kejadian seperti itu seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah dimata setiap orang yang terlibat dalam pelaksanaan UN. Padahal cara-cara seperti itu adalah bibit merusak kepercayaan gernerasi muda. Ironisnya ketakutan dan ketidakpercayaan secara tidak sadar terlaksana oleh karena perbuatan pemerintah dalam pelaksanaan UN ditambah lagi persekolahan yang secara tidak benar melakukan pendidikan.
Cara-cara pendidikan seperti ini harus segera dirubah dan kebijakan UN perlu ditinjau ulang efektifitasnya karena selama ini UN terbukti hanya menjerumuskan pendidikan kita kearah pendidikan yang kehilangan nilai-nilai kejujuran dan akhlak yang baik serta sangat bertentangan dengan semangat pendidikan berkarakter yang didengung-dengungkan. Mulai mencari cara yang lebih bermoral untuk melihat tingkat keberhasilan belajar dengan memberikan kepercayaan penuh kepada guru dan institusi pendidikan untuk melakukan uji kelulusan dan penilaian sesuai dengan kondisi dan karakter sekolah supaya tidak menjadi pendidikan kebohongan. Dengan demikian kita akan menemukan jatidiri pendidikan kita yang bermoral dan bermartabat menuju Indonesia yang baik dimasa depan, dan meninggalkan cara - cara lama ((UN) yang terbukti sarat dengan manipulasi, korupsi dan menguntungkan segelintir serta sekelompok orang.

Suhanda Herman A.,S.Pd ( Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam) diolah dari berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment