Sungguh sangat ironis melihat wajah pendidikan di Indonesia,
saat-saat menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagaikan sebuah penantian
hukuman mati. Berbagai cara ditempuh untuk meluluskan para siswa mulai dari
Bimbingan belajar tambahan, try out ujian nasional dan berbagai hal yang
menyangkut hal-hal yang tidak rasional seperti ziarah ke makam-makam para wali,
dan hal-hal yang bersifat religius dengan mengadakan do’a dan pengajian bersama
yang kesemuanya bertujuan untuk memberikan ketenangan bagi para peserta dalam
menghadapi ujian nasional.
Namun terkadang kita bertanya dalam benak kita, seolah-olah
UN adalah harga mati dalam menentukan nasib para siswa untuk dapat lulus dari
suatu tingkatan pendidikan tertentu, sehingga timbul pertanyaan mendasar apakah
fair bahwa kelulusan hanya di tentukan oleh 4 bidang studi yang ada dalam UN
sehingga mengabaikan aspek mata pelajaran lain yang seolah-olah tidak penting.
Semakin besar tingkat kelulusan, maka pihak sekolah akan di
nilai berhasil. Meskipun untuk mencapai tingkat kelulusan itu digunakan
cara-cara yan tidak tepat.Tidak dipungkiri lagi cara-cara yang tidak tepat itu
sudah menjadi langganan setiap adanya UN. Hal itu bukan tidak diketahui oleh
pihak lain seperti orang tua siswa yang berhimpun di Komite sekolah dan
masyarakat sekitar sekolah. Tetapi kerena tuntutan tingkat kelulusan maka semua
pihak tidak mempersoalkan cara-cara tersebut. Itu dapat terlihat dari sistem
yang diberlakukan pada UN.
Setiap pengawas akan dilakukan pertukaran dengan sekolah
lain. pengawas dari sekolah berbeda tersebut hanya akan sebagai robot pengawas
yang hanya akan menegur peserta ujian ketika ribut dan bertanya pada peserta
ujian lainnya. Tetapi tidak akan menegor ketika ada pihak sekolah yang
memberikan jawaban UN tentunya dengan cara yang sudah dikondisikan agar
seolah-olah tidak terjadi kecurangan. Lalu jawaban itu akan berpindah-pindah
ketangan peserta lain. sementara pengawas ketika melihat perpindahan bocoran
jawaban itu akan bersikap seolah-olah tidak melihat. Bahkan hanya berkata,
"Jangan ribut".
Bahkan dengan kondisi saat ini jawaban dikirim melalu SMS ke nomor HP salah seorang siswa setiap ruangan ujian dengan menggunakan nomor HP baru. Padahal sebelumnya telah ada kesepakatan antar pihak sekolah dengan siswa yang akan di berikan SMS tersebut. Kejadian seperti itu seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah dimata setiap orang yang terlibat dalam pelaksanaan UN. Padahal cara-cara seperti itu adalah bibit merusak kepercayaan gernerasi muda. Ironisnya ketakutan dan ketidakpercayaan secara tidak sadar terlaksana oleh karena perbuatan pemerintah dalam pelaksanaan UN ditambah lagi persekolahan yang secara tidak benar melakukan pendidikan.
Hal itu bisa terlihat dengan peran serta pihak sekolah dalam
mengisi ilmu pengetahuan para siswa. Baru ketika akan UN semua elemen sekolah
sibuk melakukan les tambahan. Pemberian les tambahan itu bukan karena kebutuhan
para siswa yang secara langsung diminta kepada pihak sekolah, tetapi karena
ketakutan akan rendahnya tingkat kelulusan sekolah. Sehingga kalau rendah maka
popularitas sekolah tersebut bisa buruk. Yang berakibat bisa menurunnya siswa
baru pada tahun ajaran mendatang, disamping itu pengadaan les tambahan adalah
menghindari tuduhan kesalahan kepada pihak sekolah ketika tin gkat kelulusan
rendah, karena tidak melaksanakan les tambahan. Bahkan ironisnya ketakutan
kepala sekolah digeser dari jabatannya saat ini. Sehingga cara-cara yang tidak
layak pun dipergunakan untuk mengatasi UN tersebut. Celakanya bahwa UN dalam
pelaksanaannya secara general adalah sumber manipulasi dan sarat kecurangan
yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar pendidikan, beberapa modus
penyelewengan dalam UN dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Oknum yang berkompeten bekerjasama dengan
pihak-pihak tertentu membocorkan soal UN dan menjualnya dengan sistem stelsel
yaitu membuat kunci jawaban dan menyebarkannya melalui SMS untuk mendapatkan
imbalan.
2.
Pihak sekolah dengan berbagai cara membuat kunci
jawaban dan menyebarkannya melalui siswa-siswa tertentu yang diberi kepercayaan
untuk membagikan kepada teman-temannya yang lain.
3.
Oknum pendidik atas instruksi atasannya untuk
menjadi tim sukses dengan trik tertentu untuk dapat mengganti lembar jawaban
siswa.
4.
Oknum Dinas pendidikan dan para penyelenggara
membuat semacam MOU haram dengan menyerahkan sejumlah uang agar sekolahnya
dapat lulus UN, bahkan mengisi lembar jawaban UN hanya menjadi formalitas
belaka.
5.
Oknum kepala daerah memberikan instruksi agar
kepala dinas pendidikan dan kepala-kepala sekolah mengusahakan semua siswa yang
mengikuti UN dapat lulus agar citra SDM seolah-olah mengalami kemajuan yang
signifikan atas dasar menjaga prestise dan prestasi daerah dan prestise lembaga
pendidikan.
Kejadian seperti itu seolah-olah sudah menjadi hal yang
lumrah dimata setiap orang yang terlibat dalam pelaksanaan UN. Padahal
cara-cara seperti itu adalah bibit merusak kepercayaan gernerasi muda. Ironisnya
ketakutan dan ketidakpercayaan secara tidak sadar terlaksana oleh karena
perbuatan pemerintah dalam pelaksanaan UN ditambah lagi persekolahan yang
secara tidak benar melakukan pendidikan.
Cara-cara pendidikan seperti ini harus segera dirubah dan kebijakan UN perlu ditinjau ulang efektifitasnya karena selama ini UN terbukti hanya menjerumuskan pendidikan kita kearah pendidikan yang kehilangan nilai-nilai kejujuran dan akhlak yang baik serta sangat bertentangan dengan semangat pendidikan berkarakter yang didengung-dengungkan. Mulai mencari cara yang lebih bermoral untuk melihat tingkat keberhasilan belajar dengan memberikan kepercayaan penuh kepada guru dan institusi pendidikan untuk melakukan uji kelulusan dan penilaian sesuai dengan kondisi dan karakter sekolah supaya tidak menjadi pendidikan kebohongan. Dengan demikian kita akan menemukan jatidiri pendidikan kita yang bermoral dan bermartabat menuju Indonesia yang baik dimasa depan, dan meninggalkan cara - cara lama ((UN) yang terbukti sarat dengan manipulasi, korupsi dan menguntungkan segelintir serta sekelompok orang.
Suhanda Herman A.,S.Pd ( Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam) diolah dari berbagai sumber.
Cara-cara pendidikan seperti ini harus segera dirubah dan kebijakan UN perlu ditinjau ulang efektifitasnya karena selama ini UN terbukti hanya menjerumuskan pendidikan kita kearah pendidikan yang kehilangan nilai-nilai kejujuran dan akhlak yang baik serta sangat bertentangan dengan semangat pendidikan berkarakter yang didengung-dengungkan. Mulai mencari cara yang lebih bermoral untuk melihat tingkat keberhasilan belajar dengan memberikan kepercayaan penuh kepada guru dan institusi pendidikan untuk melakukan uji kelulusan dan penilaian sesuai dengan kondisi dan karakter sekolah supaya tidak menjadi pendidikan kebohongan. Dengan demikian kita akan menemukan jatidiri pendidikan kita yang bermoral dan bermartabat menuju Indonesia yang baik dimasa depan, dan meninggalkan cara - cara lama ((UN) yang terbukti sarat dengan manipulasi, korupsi dan menguntungkan segelintir serta sekelompok orang.
Suhanda Herman A.,S.Pd ( Mahasiswa Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam) diolah dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment