Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah
satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penanggulangan teroris
di Indonesia. Pasukan khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani
segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan
anggota tim Gegana.
Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang
memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga
penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400
personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom),
dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu
masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti teror yang disebut
Densus 88, beranggotakan 45 - 75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan
yang lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktifitas
teror di daerah.Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau
sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat
membahayakan keutuhan dan keamanan negara R.I.
Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di
Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror
(Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopasus TNI AD (Kopasus
sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror), Detasemen
Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU,
dan satuan anti-teror BIN.
Detasemen Khusus (DENSUS) 88 Anti Teror Mabes POLRI
Sejarah Pembentukan.
Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro
Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004. Detasemen 88
yang awalnya beranggotakan 75 orang ini dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar
Polisi Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan di beberapa negara.
Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003
tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003
tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang
dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal
26 & 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai "Anti Teror
Act".
Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti Terror Act), yang jika
dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini
kedengaran seperti Eighty Eight (88). Jadi arti angka 88 bukan seperti yang
selama ini beredar bahwa 88 adalah representasi dari jumlah korban bom bali
terbanyak (88 orang dari Australia), juga bukan pula representasi dari borgol.
Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat
melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service)
Departemen Luar Negeri AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI,
dan U.S. Secret Service. Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan
khusus AS. Informasi yang bersumber dari FEER pada tahun 2003 ini dibantah oleh
Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Divisi Humas Polri, Kombes Zainuri
Lubis, dan Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar. Sekalipun demikian, terdapat bantuan
signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam pembentukan dan
operasional Detasemen Khusus 88. Pasca pembentukan, Densus 88 dilakukan pula
kerjasama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan Jerman. Hal ini
dilakukan sejalan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 43.
Persenjataan
Satuan pasukan khusus baru Polri ini dilengkapi dengan
persenjataan dan kendaraan tempur buatan berbagai negara, seperti senapan serbu
Colt M4, senapan serbu Steyr AUG, HK MP5, senapan
penembak jitu Armalite AR-10, dan shotgun Remington 870. Bahkan dikabarkan
satuan ini akan memiliki pesawat C-130 Hercules sendiri untuk meningkatkan
mobilitasnya. Sekalipun demikian kelengkapan persenjataan dan peralatan Densus
88 masih jauh dibawah pasukan anti teror negara maju seperti SWAT Team di
Kepolisian Amerika. (Diolah dari berbgai sumber).
No comments:
Post a Comment