Banyak pihak tak setuju ada ujian
nasional. Bukan karena takut ujian, melainkan menyinyalir pelaksanaan ujian
nasional sering kali dinodai serangkaian ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu
bisa berupa mencontek antarsiswa atau tindakan yang justru difasilitasi
sekolah. Memang betul ujian nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan. Namun
tanpa lulus ujian nasional, dijamin siswa tak lulus. Berbeda dari ujian lain,
yang sering digaungkan dalam ujian nasional selama ini adalah nilai minimal
kelulusan. Tahun ini, rata-rata nilai kelulusan 5,5. Sebetulnya nilai itu tak
terlalu tinggi. Akan tetapi sebagian besar sekolah menyikapi standar itu secara
serius. Bahkan standar kelulusan itu menjadi momok menakutkan bagi siswa,
sekolah, dan wali murid.
Hampir setiap sekolah memadatkan pembelajaran atau
memberikan les pada siswa jauh sebelum pelaksanan ujian nasional. Itu sebagai
persiapan agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian nasional. Kemudian,
menjelang ujian nasional, beberapa sekolah "menginfus" siswa dengan
mengadakan doa dan tahajud bersama. Langkah itu untuk menambah dorongan
spiritual dan ketenangan ketika mereka mengerjakan soal ujian. Ternyata di
lapangan, banyak sekolah kurang mantap dengan hanya melakukan dua hal itu. Maka
mereka membuat tim untuk mendukung kelulusan berdasarkan nilai minimal. Tim itu
berupaya agar setiap siswa peserta ujian mendapatkan nilai minimal 5,5 untuk
setiap pelajaran. Jika target itu tercapai berarti kerja tim dianggap sukses. Tugas
itu tidak ringan. Berat dan sangat berat. Bukan dalam pelaksanaan, melainkan
setelah itu. Sebab, beban itu akan tetap terpikul sampai kapan pun sebagai
beban psikologis. Secara teknis, menjamin siswa lulus seratus persen merupakan
perkara hebat. Namun ada yang lebih hebat lagi, yakni ketika siswa terlepas
dari jerat ketidakjujuran dari mana pun. Mereka mampu mengeksplorasi sumber
daya pribadi dan tak terpengaruh oleh apa pun.
Kontrak Kejujuran Langkah cukup menarik dilakukan SMP Pius Cilacap. Semua siswa kelas IX yang berjumlah 90 orang mengadakan kegiatan yang disebut kontrak kejujuran. Itu dilakukan untuk membentengi siswa agar percaya diri dan tak terpengaruh oleh jawaban dari luar. Memang bukan tanpa risiko. Kejujuran sering berhadapan dengan persentase kelulusan yang kurang maksimal. Namun langkah itu merupakan pendidikan yang luar biasa di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan ujian nasional. Mungkin hal itu bisa dijadikan contoh oleh sekolah-sekolah negeri dan swasta. Dengan tujuan, semua siswa lebih mengedepankan kejujuran ketimbang kelulusan.
Kontrak Kejujuran Langkah cukup menarik dilakukan SMP Pius Cilacap. Semua siswa kelas IX yang berjumlah 90 orang mengadakan kegiatan yang disebut kontrak kejujuran. Itu dilakukan untuk membentengi siswa agar percaya diri dan tak terpengaruh oleh jawaban dari luar. Memang bukan tanpa risiko. Kejujuran sering berhadapan dengan persentase kelulusan yang kurang maksimal. Namun langkah itu merupakan pendidikan yang luar biasa di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan ujian nasional. Mungkin hal itu bisa dijadikan contoh oleh sekolah-sekolah negeri dan swasta. Dengan tujuan, semua siswa lebih mengedepankan kejujuran ketimbang kelulusan.
Hasil ujian nasional yang dijadikan
patokan sering kali mengabaikan proses. Yang penting, bagaimana sekolah meraih
persentase kelulusan maksimal, walaupun dengan kualitas minimal. Apalagi bagi sekolah swasta, hasil
persentase kelulusan merupakan salah satu jualan dalam penerimaan siswa baru.
Persentase kelulusan kecil, konon penerimaan siswa baru pun menjadi seret. Tak
ayal, ujian nasional melahirkan sekolah-sekolah yang berani menjanjikan
kelulusan seratus persen. Mungkin perlu perombakan propaganda. Lulus ujian
nasional bukanlah ketika siswa mendapatkan nilai rata-rata minimal, melainkan
ketika siswa menjunjung tinggi nilai kejujuran. Ujian nasional adalah ujian
kejujuran. Siswa yang mendapat nilai besar tetapi tidak jujur dianggap tak
lulus. Adapun siswa yang mendapat nilai kecil tetapi jujur, dialah yang lulus
sebenarnya.
Faozi
Latif guru SMK Muhammadiyah Karangpucung, Cilacap ( Harian Suara Merdeka )
No comments:
Post a Comment