PKI
merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia,
di luar Tiongkok
dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta
anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia
yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih
dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan
Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi
yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era
"Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal
tahun 1965
Pada
kunjungan Menlu
Subandrio
ke Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata
chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno
tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli
1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan hasutan dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang
penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era
"Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
nasionalis dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan
petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus
menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan
kelima
Pada awal
tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri
RRC, mempunyai ide tentang Angkatan
Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi
Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa
curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI
makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi
polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara"
subyek karya-karya mereka.
Di akhir
1964 dan permulaan 1965
ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah.
Bentrokan-bentrokan
tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas
setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik negara=milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat
dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini
dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh
Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama
jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri
PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit
memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia
berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat
setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat
Indonesia, termasuk para komunis". Rezim Sukarno mengambil langkah
terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan
PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan
NASAKOM.
Tidak lama
PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di
dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang
bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha
untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas
hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam
laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk
mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya
Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang
meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Tahunya
Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja
dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat.
Isu masalah
tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang
dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik
tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan
antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah)
itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat,
Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di
beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih
setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI
mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).
Faktor
Malaysia
Negara Federasi
Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September
1963 adalah salah satu
faktor penting dalam insiden ini.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan
motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan
juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan
Darat.
Sejak
demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur,
di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak.
Soekarno
yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang
Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden
Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang
Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di
satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang
dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu
tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat
A.H. Nasution
setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan
ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi
Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak
yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan
menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para
pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan.
Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan
di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak
dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Hal
ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal
tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui
bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik
mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah
seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat
dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Soekarno
adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak
mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin
menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin
menjadi boneka.
Di pihak
PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia"
yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga
memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI
untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat
PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu
ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang
melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari
1965).
Dari sebuah
dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah
percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih
membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak
bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu
"giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman
atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu.
Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."
Dari pihak
Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang
kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi
yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang
dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor
Amerika Serikat
Amerika
Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang
Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke
tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini
sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik
dan walkie-talkie serta
obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang
menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa
ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu
pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal
8 Agustus
1965 yang mengeluhkan
bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan
kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis
Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih
terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah,
Jawa Timur,
dan Bali
dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan
lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat
ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor
ekonomi
Ekonomi
masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui
kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah
keadaan Indonesia.
Inflasi yang
mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan
Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan
terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat
dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan
kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor
ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan
pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur,
Bali serta tempat-tempat lainnya.
Peristiwa
Pada 1 Oktober
1965 dini hari, enam
jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan
Jenderal
Pada
saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang
mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap
Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang
termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono. GBU
Isu Dokumen
Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar
hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya
"Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira
Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga
dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data
tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes,
wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously",
ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat
ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief
di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski
demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini.
Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya
Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee
(The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US
(Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret;
Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass
Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia),
Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban
Keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
1. Letjen TNI Ahmad Yani
(Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
3. Mayjen TNI Mas
Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
4. Mayjen TNI Siswondo
Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
5. Brigjen TNI Donald Isaac
Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur
Jenderal Angkatan Darat)
7. Jenderal TNI Abdul Harris
Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan
tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi
korban:
1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi
Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,
Jakarta
yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca
kejadian
Pasca pembunuhan
beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu
studio RRI
di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi
yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
“Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa
Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso
(Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan
sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim
di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal
6 Oktober
Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua
anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal
12 Oktober
1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev,
Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan
khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal
16 Oktober
1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara.
Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto
disumpah.
Saya
perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya
saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada
Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama
sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas
Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di
atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada
negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk
oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan
Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat
ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto,
sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan
sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
Dalam sebuah
Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan
Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka
untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian
mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan
resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan
penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia,
Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara
Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para
kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para
pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam
negeri Indonesia."
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam
bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka
yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan
dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir
1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu
militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui
dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time"
memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan
setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai"
untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk
melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan
sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan
Jenewa, Swiss
Menyusul
peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara
para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam
yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini
didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia
di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno.
Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di
Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat
hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Sesudah
kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari
Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober,
ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya
dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan
hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September
- 4 Oktober
2006, diadakan rangkaian
acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu
hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk
"Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan
1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
Disalin
ulang : komunitassain.blogspot.com