Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Indonesia.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km
di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi
pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk
bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya
dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.
Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya
terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra
mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan
dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini
searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga
tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu
(ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah
berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong
dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang
terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur
ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan
Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan
bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur
telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran
terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO,
kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat
ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh
Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam
dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang
paling banyak dikunjungi wisatawan.
NAMA BOROBUDUR
Dalam Bahasa
Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi
juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala
yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang,
gapura,
dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur
tidak jelas, meskipun memang nama asli
dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Nama Borobudur pertama kali
ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Raffles menulis mengenai
monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua
yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang
memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca
pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur,
kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa
terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi
memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles
juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda
dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro
purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur
berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak teori yang berusaha
menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan
berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara)
di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi
rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para
Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan
lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan
"beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara,
sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa
Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur
artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali
yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang
berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de
Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa
Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan
pendiri Borobudur adalah raja Mataram
dari wangsa Syailendra
bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh Çrī Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamūlān
yang disebut Bhūmisambhāra. Istilah Kamūlān sendiri berasal dari
kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk
memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis
memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang
berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa",
adalah nama asli Borobudur
Sejarah Pembangunan Borobudur
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan
siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya
diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki
tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti
kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800
masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa
puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 tahun dan dirampungkan
pada masa pemerintahan Samaratungga pada tahun 825.
Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah
raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa
Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat,
akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti
Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung
Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan
candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal
sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk
Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai
Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.
Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan
kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan
yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi,
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno,
agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang
menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian
wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai
jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi
dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak
Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Sumber : id.wikipedia.org
No comments:
Post a Comment