BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Balakang
Perang salib bertitik tolak pada pembangunan pesat yang berlaku di Eropa
Barat semasa abad pertengahan. Ini sebenarnya berawal dari kedengkian
orang-orang Kristen pada islam dan umat islam. Karena dalam perjalanan dinasti
islam mengalami sebuah kecemerlangan yang luar biasa. Ini dapat dilihat dengan
berhasilnya muslimin merebut wilayah-wilayah yang sangat strategis. Maka bara
dendam tersulut dalam dada mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali
merebut kekuasaan mereka. Mereka menunggu kesempatan untuk membalas dendam
tehadap umat yang telah merobek-robek kerajaan Kristen. Maka ketika kesempatan
itu datang dan kondisi umat islam dalam keadaan yang lemah, mereka pun
bertubi-tubi menghancurkan islam dengan segala apa yang muslim miliki.
Pertarungan yang sengit antar dua agama ini adalah awal dari permusuhan
yang sangat berkepanjangan. Perang salib adalah perang keagamaan selama hampir
dua abad yang terjadi reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat islam di Asia
yang dianggap sebagai pihak penyerang. Sebenarnya benih-benih ini telah ada dan
lebih tua dari perang itu sendiri. Perang ini terjadi karena sejak tahun 632
sampai meletusnya perang salib sejumlah kota-kota penting dan tempat suci umat
Kristen telah diduduki oleh umat islam seperti Syuriah, Asia kecil, Spanyol dan
Sicilia.
Perang Salib adalah gerakan umat
Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang
mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci
dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja
dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang
ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan
panji-panji mereka. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil
yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap
kaum pagan
dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan
politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi
besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib”
lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim
politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib
pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah.
Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu
pengetahuan.
Perang Salib
berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang
mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk
internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi
Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan
semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium,
Konstantinopel-kota
yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama
yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik,
dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara
individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci.
Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan
politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya
seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan
Rum yang Muslim
dalam Perang Salib Kelima.
1.2. Keadaan
Sebelum Perang
1. Situasi
di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah
perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad
Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang
disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian pada akhir Abad
Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah
peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah
membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk
bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha
untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax Dei dan
Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang
berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan
kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik.
Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista
di Spanyol
dan Portugal,
dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan
pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya
berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan
menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus
Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen
Iberia
untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun
pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka,
permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam
oleh ekspansi kaum Muslim
Seljuk,
menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari
Kaisar Michael VII kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun
1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus
II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran
dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di
masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan
menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap
sebagai “tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi
Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung
selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah
pihak yang terlibat dalam Kontroversi
Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat
menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang dramatis.
Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada
masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan
tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang
termasuk Yerusalem
(dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut
ajaran Kristen) dan Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim.
Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi
dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk mencari cara
menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan
hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan
dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali,
mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi,
kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang
berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur
ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini
mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam
pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut
Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan
“penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke
Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum Perang
Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika melakukan
dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan dukungan
masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad
ke-12.
2. Situasi Timur Tengah
Keberadaan
Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab
terhadap Palestina Eropa Barat
tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang
berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari
orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan
tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki Saljuk yang berhasil memberikan
tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium
yang beragama Kristen Ortodoks Timur.
dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak
terlalu memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau
keamanan dari biara-biara dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini.
Sementara itu, bangsa-bangsa di
Titik balik
lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada
tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah
memerintahkan penghancuran Gereja Makam Kudus (Church of the Holy
Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun
gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat
itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman
kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para
peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan
Perang Salib pada akhir abad itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Perang Salib
Peperangan yang
terjadi antara dua agama ini disebut perang salib karena ekspedisi militer
mempergunakan salib sebagai symbol pemersatu yang diletakkan pada masing masing
pundak mereka untuk menunjukan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah
perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis
(yerussalem) dari tangan orang-orang islam.
2.2. Penyebab Perang Salib
Adapun yang
menjadi factor utama yang menyebabkan terjadinya perang salib adalah agama,
politik dan sosial ekonomi.
1. Faktor Agama
Dalam pandangan
orang Kristen mereka sangat mengagungkan kekuatan suci gereja dan kemampuannya
untuk menghapus dosa. Maka banyak dari mereka yang telah putus asa
berbondong-bondong memanggil seruan ini. Ditambah lagi dinasti Seljuk yang
merebut Baitul Maqdis dari tangan Fathimiyah pada tahun 1070, pihak Kristen
merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah kesana. Hal ini disebabkan karena
penguasa Seljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka
yang hendak melaksanakan ibadah ke Bait Al-Maqdis, bahkan mereka yang pulang
berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang-orang
Seljuk yang fanatic. Umat kristen merasa perlakuan para penguasa dinasti Seljuk
sangat berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan
itu sebelumnya.
2. Faktor Politik
Kekalahan
Byzantium sejak tahun 330 yang disebut Konstantinopel di Manzikar (Malazizkir)
atau Malasyird, Armenia pada 1071 dan jatuhnya Asia kecil ke bawah kekuasaaan
Seljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnesus (Kaisar konstantinopel) untuk
meminta bantuan pada Paus Urbanus II (1035-1099); menjadi paus dari (1088-1099)
dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan
dinasti Seljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Byzantium karena adanya janji
kaisar Alexius untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma.
Pada waktu itu
Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar tehadap raja-raja yang
berada di bawah kekuasaannya. Ia dapat menjatuhkan sanksi kepada raja yang
membangkang perintah Paus dengan mencopot pengakuannya sebagai raja.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang lemah, sehingga orang-orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam perang salib. Ketika itu, dinasti Seljuk di Asia kecil sedang mengalami perpecahan, dinasti fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segi tiga antara Khalifah Fathimiah di Mesir, khalifah Abasiyah di Baghdad dan Amir Umayah di Cordova yang memproklamasikan dirinya sebagai khalifah.
Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang lemah, sehingga orang-orang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam perang salib. Ketika itu, dinasti Seljuk di Asia kecil sedang mengalami perpecahan, dinasti fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segi tiga antara Khalifah Fathimiah di Mesir, khalifah Abasiyah di Baghdad dan Amir Umayah di Cordova yang memproklamasikan dirinya sebagai khalifah.
Hal ini tampak
dalam kondisi umat islam seperti berikut:
1.
kelemahan dinasti Seljuk pasca wafatnya Malik Syah
hingga menga-kibatkan Seljuk terpecah-pecah.
2.
tidak adanya pemimpin kuat yang menyatukan perpecahan
umat islam dan membentuk pasukan yang tangguh guna mengusir setiap lawan yang
bermaksud jahat kepada islam.
3.
beberapa kabilah telah masuk agama Kristen dan hal ini
menjadikan Eropa Kristen memiliki jaringan yang kuat di negara-negara timur.
Maka situasi
demikian yang sangat menguntungkan bangsa Eropa mendorong penguasa-penguasa
Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah-daerah kekuasaan Islam yang
telah begitu luas menguasai Eropa seperi dinasti-dinasti di Edessa (Arruha) dan
Baitul Maqdis.
3. Faktor Sosial Ekonomi
Keadaan ekonomi
Eropa lah yang sebenarnya menjadi dorongan kuat pada masyarakatnya untuk ambil
bagian dalam peperangan ini. Pandangan mereka yang selama ini terkukung oleh
kemiskinan atas seruan kebebasan dan materi menjadikan mereka berduyun-duyun
menyambut harapan itu. Maka semua lapisan baik raja, bangsawan, pendeta,
saudagar, petani, dan semuanya mempunyai pandangan yang tidak berbeda terhadap
perang salib. Oleh karenanya perang ini menjadi alat pemersatu yang sangat baik
atas kesatuan Eropa melawan Islam.
Terjadinya
peperangan ini pula adalah karena ambisi para pedagang-pedagang besar yang
berada di pantai timur laut tengah terutama yang berada di kota Venezia, Genoa,
dan Pisa, untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur
dan selatan laut tengah untuk memperluas jaringan dagang dan mempermudah jalur
perdagangan itu sendiri karena mereka selama ini harus berhadapan denagn para
penguasa Islam dalam melakukan perdagangannya. Untuk itu mereka rela menanggung
sebagian dana perang salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat
perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu
dimungkinkan karena jalur eropa akan bersambung dengan rute-rute perdagangan di
timur melalui jalur strategi tersebut.
Selain
permasalahan di atas, dalam kehidupan bangsa Eropa telah terbagi dalam
kelas-kelas social masyarakat yang ketika itu terdiri dari tiga kelompok yaitu
; kaum gereja, kaum bangsawan serta ksatria, dan rakyat jelata. Meskipun
kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat, tetapi
mereka menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas
dan terhina. Mereka harus tunduk kepada tuan tanah yang sering
bertindaksemena-mena dan mereka dibebani berbagai pajak dan sejumlah kewajiban
lainnya. Oleh karena itu, ketika merekadimobilisasi oleh pihak gereja untuk
turut mengambil bagian dalam perang salib dengan janji akan diberikan kebebasan
dan kesejahteraan yang lebih baik bila perang dapat dimenangkan, mereka
menyambut seruan itu secaraspontan dengan berduyun-duyun melibatkan diri dalam
perang tersebut. Hal ini karena memang kebebasan yang sanagt berarti dalam
kehidupan mereka. Penindasan yang selama ini mereka rasakan telah mengakibatkan
mereka telah kehilangan hakekat hidup itu sendiri. Maka adanya seruan itu bukan
karena mereka ingin memenuhi panggilan suci agama, bukan itulah sebab mereka
mengikuti perang salib.
Selain
stratifikasi social masyarakat Eropa yang memberlakukan diskriminasi terhadap
rakyat jelata, pada saat itu di Eropa berlaku hukum waris yang menetapkan bahwa
hanya anak tertua yang berhak menerima harta warisan. Apabila anak tertua
meninggal maka harta warisan harus diserahkan kepada gereja. Hal ini telah
menyebabkan populasi orang miskin semakin meningkat. Akibatnya, anak-anak yang
miskin sebagai konsekuensi hokum warisyang mereka taati itu beramai-ramai pula
mengikuti seruan mobilisasi umum itu dengan harapan yang sama, yakni untuk
mendapatkan perbaikan ekonomi.
2.3. Seruan Perang Salib
Penyebab
langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan
Kaisar Alexius I
kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium
dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan
karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh
pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis
dan Armenia.
Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil
(Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung
antara gereja Katolik Barat dengan gereja Ortodoks
Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas
permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit
bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi
yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium,
akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem,
setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis
pada tahun 1078 dari kekuasaan dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa
tidak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada 27
November 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia
dan Asturia,
wilayah Basque
dan Navarre,
dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa
Moor Toledo kepada Kerajaan León
pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan
penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen yang
meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan.
Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki
taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini
merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka
dapat berbuat dan merusak sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan
dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol
melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter
Castilia,
dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran
mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
Maka dengan
beberapa factor yang menjadi penyebab bibit awal peperangan itulah Sri Paus
berani mengumumkan atas kebenciannya terhadap umat islam. Maka idenya untuk
mengadakan perang salib itu bergulir dengan diawali kongres tahunan yang
duhadiri oleh para uskup dan menyetujui gagasannya. Ia menghasut dengan dalih
pembebasan Baitul Maqdis, yang pula mendapat dukungan para pesertakongres
tersebut. Hal ini menjadi semakin besar penagruhnya dengan seorang pendeta
prancis, Boutros yang berkeliling ke seluruh Eropa dalam membangkitkan
sentiment agama orang-orang Kristen dan mengajak mereka untuk berperang. Dan
ajakan ini betul-betul berpengaruh dalam hati umat Kristen. Maka berangkatlah
dan semakin menyebarlah gagasan Sri Paus atas perang salib ini .
2.3 Angkatan Perang Salib
Maka setelah
semuanya telah menjadi maklumat bersama, keinginan gereja pun segera
dilaksanakan, raja-raja para ksatria dan para prajurit mematuhi panggilan ini
dan menghimpun kekuatan yang besar. Maka banjir manusia tumpah ruah memasuki
daerah timur. Maka dimulailah rangkaian perang tersebut dengan beberapa
angkatan.
Adapun angkatan tersebut adalah;
Adapun angkatan tersebut adalah;
·
Angkatan Salib Pertama; ini terjadi setelah
Boutrus yang tanpa strategi apapun akhirnya kalah dan terbunuh bersama seluruh
tentaranya. Maka pasukan Eropa keluar dengan pasukan yang lebih besar lagi dan
dapat menuai kemenangan, pasukan salib berhasil merebut Baitul Maqdisi dinasti
Seljuk. Maka setelah pasukan salib merebut daerah ini, terjadilah peristiwa
yang sangat mengerikan dengan pembantaian terhadap kaum muslimin yang kira-kira
berjumlah 6000 orang.
·
Angkatan Salib Kedua; kegagalan Eropa salib yang
terjadi pada angkatan kedua ini karena adanya ambisi dalam jabatan kepemimnan
dan konflik internal antar negara-negara Eropa hingga memotivasi Imaduddin
Zanky untuk bangkit dan melawan kekuatan salib. Ia menyerang pasukan salib yang
bermaskas di Halb dan berhasil menguasainya dengan mudah.
·
Angkatan Salib Ketiga; terjadi pada tahun 1183
M. ini adalah tantangan Eropa atas bangkitnya mesir di bawah pimpinan Salahuddin
yang merebut Yerussalem dan menghancurkan kerajaan latin di palestina. Demikian
dahsyatnya pasukan yang Salahuddin pimpin hingga memupuskan harapan Kristen di
Timur. Ia melancarkan pukulan terhadap pasukan salib dan tentaranyamemberiakn
pil pahit kepada para pasukan salib tersebut. Maka dalam pandangan salib,
pasukan salahuddin amatlah menakutkan dalam setiap peperangan melawan mereka.
·
Angkatan Salib Keempat; terjadi pada 1204 M.
perang pada angkatan inilah yang dinilai paling rusak dalam sejarah peperangan
salib. Ini dikarenakan mereka bukanlah para tentara yang terlatih melainkan
para penyamun yang mencari keuntungan dalam peperangan ini. Mereka hanya
mencari sisa-sisa harta imperium timur serta usaha menyelamatkan diri dari
malapetaka perang salib.
·
Angkatan Salib Kelima dan Ketujuh; tahun 1217 M.
pada angkatan kelima dan ketujuh inilah, pasukan salib telah mencapai pada
titik keletihan yang teramat sangat. Mereka telah kehabisan bekal makanan dan
penyakit yang melanda sebagian besar tentaranya. Ditambah lagi mereka telah
kehilangan semangat perang, dan pada akhirnya mereka pun sia-sia untuk
melanjutkan misi ini. Mereka tertahan di perairan Mesir dan datarn Daimetta
yang pada akhirnya mereka pun kalah karena tercerai berai.
·
Angkatan Salib Keenam; pada 1228, dan inilah
perang salib yang paling menentukan antara hidup dan matinya Muslimin atau kaum
Salib. Yang mereka perebutkan adalah Yerussalem yang dalam pandangan kedua
agama ini adalah tempat suci agama mereka.
2.5. Periodesasi Perang Salib
Para sejarawan
saling berbeda pendapat dalam menetapkan periodesasi perang salib. Prof. Ahmad
Syalabi ( penulis buku Attarikh Al-Islami Wa Al-Hadarah Al-islamiyah) atau
sejarah dan kebudayaan Islam., misalnya sebagai periodesasi perang salib itu
atas tujuh periode. Sementara itu Philip K.Hitti (orientalis) yang menulis buku
“the history of The Arab” memandang perang salib berlangsung terus-menerus
denag kelompok yang bervariasi, kadang –kadang berskala besar dan tidak jarang
pula yang berskala kecil. Selain itu arah dan peperangan tersebut antara
gerakan yang satu dan yang lainnya tidaklah terdapat pembatas yang jelas antara
tempat dan kurunnya. Meskipun demikian, Hitti berusaha membuat periodesasi
perang salib dengan menyederhanakan pembagiannya dalam tiga periode.
a. Periode Pertama
Pada musim
semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis
dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel,
kemudian ke Palestina.
Tentara Salib
yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond,
dan Raymond
ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil
menaklukkan Nicea
dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa).
Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin
sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia
dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur, Bohemond
dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis
(Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey.
Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.
Mereka menguasai kota Akka
(1104 M), Tripoli
(1109 M) dan kota Tyre
(1124 M). Di Tripoli
mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya,
Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan
kembali Aleppo,
Hamimah, dan Edessa.
Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin
Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia
pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Disebut periode
penaklukkan (1096-1144). Jalinan kerjasama antara kaisar Alexius dan Paus
Urbanus II berhasil membangkitkan semangant umat Kristen, terutama akibat
pidato Paus Urbanus II pada konsiliasi Clermont pada tanggal 26 Nopember 1095.
menurut penilaian Philip K.Hitti, pidato ini kemungkinan merupakan pidato yang
paling berkesan sepanjang sejarah yang telah dibuat Paus.
Pidato ini
bergema di seluruh Negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk
mengadakan penyerbuan. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas yang diikuti
oleh berbagai kalangan masyarakat. Hassan Ibrahim ( sejarawan yang menulis buku
sejarah islam) menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang
tidak mempinyai pengalaman berperang, tidak disiplin, dan tanpa memiliki
persiapan.
Gerakan ini dipimpin oleh Pierre I ‘ermite. Sepanjang jalan menuju kota Konstantinopel mereka membuat keonaran, melakukan perampokan dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongarian dan Byzantium. Akhirnya dengan mudah pasukan salib dapat dikalahkan Dinasti Seljuk.
Gerakan ini dipimpin oleh Pierre I ‘ermite. Sepanjang jalan menuju kota Konstantinopel mereka membuat keonaran, melakukan perampokan dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongarian dan Byzantium. Akhirnya dengan mudah pasukan salib dapat dikalahkan Dinasti Seljuk.
Perang salib
angkatan berikutnya dipimpin oleh God Frey Of Bouillon. Gerakan kali ini lebih
merupakan ekspedisi militer yang terorganisasi rapi. Mereka berhasil menduduki
kota suci Palestina pada tanggal 7 juni 1099. pasukan ini melakukan pembantaian
besar-besaran selama lebih kurang seminggu terhadap umat islam tanpa membedakan
laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa, serta tua dan muda. Disamping
itu mereka membumihanguskan bangunan-bangunan umat islam. Sebelum pasukan ini
memasuki Baitul Maqdis, mereka terlebih dahulu merebut Anatolia Selatan, daerah
Tarsus, Antiokia, Alefo dan Arruha (Edessa). Selain itu, mereka juga berhasil
merebut Tripoli, Syam (Suriah) dan Acre.
Kemenangan
pasukan salib dalam periode ini telah mengubah peta dunia islam dan situasi di
kawasan itu. Sebagai akibat dari kemenangan tersebut, berdirilah beberapa
kerajaan latin Kristen timur, yaitu kerajaan Baitul Maqdis (1099) di bawah
pemerintahan raja God Frey, Edessa (1098) diperintah oleh raja Baldwin, dan
Tripoli (1109) dibawah kekuasaan raja Raymond.
b. Periode Kedua
Disebut periode
reaksi umat islam (1144-1192). Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan islam ke
tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum muslimin menghimpun kekuatan guna
menghadapi mereka. Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen
mengobarkan Perang Salib kedua.
Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang
disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya
memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak
maju mereka dihambat oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki
Damaskus.
Louis VII dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh
Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil
mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M,
setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan
Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem
pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin berhasil
mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui
taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di
Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem,
tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem
yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat
berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali.
Shalahuddin kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.Di bawah komando
Imaduddin Zangi, gubernur Mosul, kaum muslimin maju membendung serangan kaum
salib. Bahkan mereka berhasial kembali merebut Allepo dan edessa (Arruha) pada
tahun 1144. setelah Imadudin Zangi wafat pada tahun 1146, posisinya digantikan
oleh putranya Nuruddin Zangi. Dibawah kepemimpinannya ia meneruskan citi-cita
ayahnya untuk membebaskan negri-negri islam dari serangan kaum salib. Kota-kota
yang berhasial ia dapatkan kembali adalah:
1.
Damaskus (1147)
2.
Antiokia (1149)
3.
Mesir (1169)
Keberhasilan
kaum muslimin dalam merebut kembali beberapa kota islam yang telah diduduki
oleh kaun salib adalah setelah munculnya pejuang islam yang bernama salahuddin
Yusuf Al-Ayyubi (saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis pada
tanggal 2 Oktober 1187, telah membangkitkan kembali semangat kaum salib untuk
mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Ekspedisi dibawah pimpinan
raja-raja Eropa seperti:
1. FrederickI
2. Richard I
3. Philip I
Ekspedisi
militer salib kali ini dibagi dalam beberapa divisi. Sebagian menempuh jalan
darat, sebagian lagi menempuh jalan laut. Federick yang memimpindivisi barat
tewas tenggelam dalam penyebrangannya di Sungai Armenia, dekat kota Arruha.
Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang melanjutkan perjalanannya dibawah pimpinan putranya. Adapun kedua divisi lainnya menempuh jalur laut bertemu di Sicilia. Mereka berada di sana sampai musim dingin berlalu.
Karena terjadi kesalahpahaman, akhirnya mereka meninggalkan Sicilia secara terpisah. Richard menuju Cyprus dan mendudukinya, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Syam (Syuriah) adapun Philip langsung ke Acre. Di sana pasukannya berhadapan dengan pasukan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi. Tidak berapa lama kemudian, dating pula Richard dengan pasukannya yang mengakibatkan pertempuran sengit terjadi. Akhirnya kota Acre ditinggalkan oleh pasukan Salahuddin yang memilih mundur uantuk mempertahankan kota Mesir.
Dalam keadaan demikian, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan membuat suatu perjanjian. Inti perjanjian damai adalah : daerah pedalaman akan menjadi milik muslimin dan umat Kristen yang akan berziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanannya, sedangkan daerah pesisir utara, Acre dan jaffa berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Tidak lama kemudian setelah perjanjian itu disepakati, Salahuddin meninggal dunia pada bulan Safar 589/ Februari 1193.
Sebagian tentaranya kembali, kecuali beberapa orang yang melanjutkan perjalanannya dibawah pimpinan putranya. Adapun kedua divisi lainnya menempuh jalur laut bertemu di Sicilia. Mereka berada di sana sampai musim dingin berlalu.
Karena terjadi kesalahpahaman, akhirnya mereka meninggalkan Sicilia secara terpisah. Richard menuju Cyprus dan mendudukinya, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Syam (Syuriah) adapun Philip langsung ke Acre. Di sana pasukannya berhadapan dengan pasukan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi. Tidak berapa lama kemudian, dating pula Richard dengan pasukannya yang mengakibatkan pertempuran sengit terjadi. Akhirnya kota Acre ditinggalkan oleh pasukan Salahuddin yang memilih mundur uantuk mempertahankan kota Mesir.
Dalam keadaan demikian, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan membuat suatu perjanjian. Inti perjanjian damai adalah : daerah pedalaman akan menjadi milik muslimin dan umat Kristen yang akan berziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanannya, sedangkan daerah pesisir utara, Acre dan jaffa berada di bawah kekuasaan tentara Salib. Tidak lama kemudian setelah perjanjian itu disepakati, Salahuddin meninggal dunia pada bulan Safar 589/ Februari 1193.
c. Periode Ketiga
Periode yang
berlangsung 1193-1291 ini lebih dikenal dengan periode perang saudara
kecil-kecilan atau periode kehancuran kaum salib. Hal ini dikarenakan pada masa
ini lebih disemangati oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan
jabatan serta yang bersifat material ketimbang motivasi agama. Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun
menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris,
dan Philip Augustus raja Perancis Barbarossa
meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan
Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat
menguasai Siprus
dan mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun
mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian
dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk
"menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal
Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina
lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2
Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang
disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa
orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis
tidak akan diganggu. Tujuan mereka untuk membebaskan Baitul Maqdis seolah-olah
mereka lupakan. Hal ini dapat terliaht ketika pasukan salib yang mereka
persiapkan untuk menyerang Mesir (1202-1204) ternyata membelokkan tujuan menuju
konstantinopel. Kota ini direbut dan diduduki oleh Baldwin sebagai rajanya. Ia
merupakan raja Roma Latin pertama yang berkuasa di Konstantinopel.
memunculkan Perang Salib III. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua
jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan
Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat,
melewati Konstantinopel. Namun,
Dalam periode
ini telah terukir dalam sejarah pahlawan wanita yang tekenal gagah berani,
yaitu Syajar Ad-durr. Ia berhasil menghancurkan pasukan raja Louis IX dari
prancis dan sekaligus menangkap raja tersebut, bukan hanya itu sejarah juga
telah mencatat bahwa pahlawan wanita yang gagah berani itu telah mampu
menunjukan kebesaran islam dengan membebaskan dan mengizinkan kembali raja
Louis IX kembali ke negerinya, perancis.
c. Periode Keempat
Pada tahun
1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode
keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II, mereka
berusaha merebut Mesir
lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Koptik. Dalam
serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath,
raja Mesir
dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat
penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan
Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin
di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen
di Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, di masa pemerintahan al-Malik al-Shalih,
penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir
dikuasai oleh Dinasti
Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang
oleh Baibars,
Qalawun, dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali
oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur.
Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam
terusir dari sana.
2.5. Dampak Perang Salib
1.
Bidang Militer
Dalam bidang
militer, dunia barat menemukan persenjataan dan taktik berperang yang belum
pernah mereka temui sebelumnya di negeri mereka, seperti menggunakan
bahan-bahan peledak untukmelontarkan peluru, pertarungan senjata dengan
menggunakan kuda, tehnik melatih burung merpati untuk kepentingan informasi
militer, dan penggunaan alat-alat rebana dan gendang untuk memberi semangat
untuk pasukan militer di medan perang.
Pengalaman
militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya,
kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan
besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti
sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya
Eropa ke dunia, terutama Asia.
2.
Bidang Perindustrian
Dalam bidang
perindustrian, mereka banyak menemukan kain tenun sekaligus peralatan tenun di
dunia timur. Untuk itu mereka mengimpor bernagai jenis kain, seperti muslin,
satin, dan dammar dari timur barat. Mereka juga menemukan berbagai jenis farpum
kemenyan dan getah Arab yang dapat mengharumkan ruangan.
3.
Bidang Pertanian
System
pertanian yang sama sekali baru di dunia barat mereka temukan di timur islam
seperti model irigasi yang praktis dan jenis tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan
yang beraneka macam. Hal yang sangat penting lainnya adalah penemuan gula.
4. Bidang
Perdagangan
Hubungan
perniagaan dengan timur menyebabkan mereka menggunakan alat tukar uang sebagai
alat barang. Sebelumnya mereka masih menggunakan system barter. Ilmu ekonomi
yang mereka kembangkan sejak abad ke 9 telah pula melahirkan observatorium
dunia barat. Selain itu mereka meniru rumah sakit dan pemandu yang tidak kalah
pentingnya adalah sikap dan kepribadian umat islam di timur pada waktu itu
telah memberikan penagruh positif terhadap nilai-nilai kemanusiaan di Eropa
yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian.
Kebutuhan
untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan
perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah
digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para
pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang
Salib mempersiapkan Eropa untuk
bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari
timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak
negara-kota di Itali
yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan
dengan negara-negara Salib,
baik di Tanah Suci
maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan
perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya
tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang
ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik
pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel,
hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi.
5. Bidang
Politik dan Budaya
Perang Salib
amat memengaruhi Eropa pada Abad
Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh
kekuasaan Kepausan,
akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa
modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada
masa awal perang salib.
Meski benua
Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam
selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia,
banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur
diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman
militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya,
kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan
besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti
sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya
Eropa ke dunia, terutama Asia.
Demikianlah
beberapa keuntungan yang didapat Barat dan Timur. Namun demikian adanya atas
dunia timur. Perang salib telah memberikan peradaban besar terhadap kemajuan
Barat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perang Salib adalah gerakan umat
Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang
mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci
dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja
dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang
ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan
panji-panji mereka. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil
yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap
kaum pagan
dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan
politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi
besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib”
lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika
iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
No comments:
Post a Comment