Oleh : Andi Trinanda
Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan
sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach yang cenderung praktis
dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal
dengan istilah home schooling.
Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 6 juta home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Walaupun bagi kalangan praktisi pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis inheren dengan SMP terbuka, SMA terbuka,
Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend adalah e-learning, namun memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika
dilihat dari tingkat fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas
konsep pendidikan home schooling
memang an-sich mengacu kepada
kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan dan hoby individual
(baca : siswa) dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai
bidang-bidang tertentu yang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas
tersebut juga diukur dari metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh
dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi
terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsepsi link & mach memang cenderung lebih efektif jika para siswa
belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia
industri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan dengan lembaga
pendidikan home schooling misalnya
mengenai pola standard alternatif bagi kompetensi para lulusan (baca : dalam
hal ijasah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah. Untuk menelaah lebih jauh
tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif
berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir
masyarakat yang
mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil
yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh
pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi
mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola
pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid
sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh
tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia
pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar
dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang
menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan
terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif “aman” buat anak-anaknya
dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini
menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian
masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan
putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain yang perlu
dicermati mengapa pendidikan home
schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika
masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia
belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang
harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan
kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika
mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Memang selama ini bagi sebagian
kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi
tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam
setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan
sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah
kurikulum lokal yang terus berganti. Konsep dan desain penerapan kurikulum
tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan
berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa
mereka (baca : para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap bahwa setiap
insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi
pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya
mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya dengan
pendekatan teoritical education an sich.
Kecenderungan teoritical yang intens
tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan problematik teoritis dalam dunia
pendidikan kita. Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya kurikulum
berganti tanpa visi baik content
maupun format penerapannya di lapangan.
Akibatnya pula bukan cuma para guru yang kesulitan mengintepretasikan
dan mengimplementasikan program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa
pun akhirnya “terbelenggu”untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut
tanpa reserve. Kasus kontroversi
output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini terjadi
semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia
pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai
beralih untuk lebih jauh melihat standard bukan secara lokal namun sudah jauh
ke standard yang lebih bersifat mondial
misalnya standard Amerika sampai standard ketaraf Internasional semisal lembaga
pendidikan yang menerapkan sistem ISO dalam program pendidikannya. Dan salah
satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional
tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia
pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang
menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan
alternatif semisal home schooling ini
dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya
memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi
pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah. Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih
pendidikan home schooling ini, tidak
semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan
ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat
kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era
globalisasi ini yang menuntut segi otentitas
dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi.
Kredibilitas program pendidikan home
schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan
informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi
belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi
link & mach dengan dunia usaha
dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas
legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap
inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa
saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di
Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di
Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial
peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas
tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses
transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistik.
* Penulis adalah praktisi pendidikan dan dosen di salah
satu perguruan tinggi sawsta di Jakarta . Disamping mengajar juga aktif sebagai
ketua kelompok studi “SEMBILAN” di Jakarta.
No comments:
Post a Comment