Penulis :Haidar Bagir
Cetakan : I, April 2005
Tebal : 245 halaman
Mendengar kata tasawuf, yang terbetik dalam benak
adalah sesuatu yang berat. Sesuatu yang jauh, yang tidak terjangkau oleh akal
awam kita. Berpakaian serba putih, memelihara jenggot panjang dan menjauhi
kehidupan dunia, hidup dalam kekurangan ekonomi alias miskin dan berpakaian
lusuh. Gambaran itulah yang kerap dimunculkan, saat mendengar kata tasawuf, dan
juga sufi (para pelaku tasawuf).
Ini masih ditambah lagi dengan pernyataan-pertanyaan
ganjil atau nyleneh yang seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar
keyakinan umum kaum Muslim. Seperti ucapan Al Hajjaj dan Ba Yazid Al-Busthami,
misalnya `’Akulah Sang Kebenaran” (ana Al-Haqq) atau `’Tak ada apapun dalam
jubah – yang dipakai oleh Busthami – selain Allah.”
Lalu, bagaimana dengan pengalaman spiritual seseorang
yang merasa dekat dengan Allah SWT sehingga mengaku bertemu Malaikat Jibril?
Mendapat wahyu ataupun hal-hal gaib, pengalaman yang tak dialami oleh orang
kebanyakan. Apakah dia juga sufi dan merupakan hasil dari menekuni jalan
tasawuf? Untuk menjawab berbagai pertanyaan itu, Haidar Bagir, membahasnya
dalam buku saku berukuran kecil sehingga mudah dibawa ke manapun.
Dalam buku ini, Ketua Pusat Pengembangan Tasawuf
Positif IIMAN ini menjelaskan dengan bahasa lugas dan relatif mudah dimengerti,
mengenai tasawuf dan seluk beluknya.
Haidar juga `mengampanyekan’ tasawuf positif yang
berdampak nyata dalam kehidupan pelakunya sehari-hari. Pemahaman yang benar
mengenai tasawuf positif, akan melahirkan seorang sufi yang berakhlak baik. Ia
memberikan contoh mengenai banyaknya pengalaman spiritual Lia Aminuddin, yang
mengaku sebagai Imam Mahdi. Soal seringnya Lia bercengkerama dengan Malaikat
Jibril, menurut Haidar, hanya dia dan Rabb-nya yang tahu. Yang lebih penting,
penulis buku ini mempertanyakan, apakah semua pencapaian spiritual itu, membuat
Lia menjadi orang yang sangat concern dengan kaum dhuafa dan kaum mustadh’afin
atau tidak?
Tasawuf positif adalah sebuah pemahaman atas tasawuf
yang berupaya mendapatkan manfaat dari segala kelebihan dalam hal pemikiran dan
disiplin yang ditawarkannya seraya menghindari ekses-eksesnya, sebagaimana
terungkap dalam sejarah Islam. Selain itu, betapapun diembel-embeli istilah
`positif’ , tasawuf ini tetap mempromosikan konsep Allh dalam dua perwujudan,
yakni perwujudan keindahan dan cinta (jamal) di samping perwujudan keagungan
dan kedahsyatan (jalal).
Tema tersebut menggambarkan bahwa metode tasawuf
merepresentasikan sifat Islam yang, selain berorientasi syariat, juga
menekankan metode cinta. Selama ini kita menganggap bahwa cinta kasih itu
kaitannya dengan agama Nasrani, sedangkan Islam identik semata-mata dengan
syariah, ketaatan pada hukum, disiplin pada hukum. Hal ini, menurut penulis,
merupakan akibat dari pemahaman secara eksklusif atas aspek jalal (tremendum)
Allah. Kita `lupa’ pada satu aspek lainnya.
Membaca buku ini, kita diajak untuk mendalami
sejarah tasawuf, perjalanannya, kemabukan yang dialami sufi dan penyebabnya
serta manfaat dari menekuni jalan tasawuf dalam kehidupan modern kita saat ini.
Tujuan terpenting dari perjalanan itu adalah lahirnya akhlak yang baik dan
menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
No comments:
Post a Comment