Munculnya aliran-aliran dalam Islam bermula dari perselisihan masalah politik kepemimpinan pasca sepeninggal Nabi Muhammad. Setelah baginda Rasulullah SAW wafat kepemimpinan umat islam di pegang para sahabat yang dikenal sebagai Kulafaurasyiddin. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar Bin Khattab umat islam masih dapat bersatu dibawah panji-panji Islam, namun pada masa kalifah III yang dijabat Usman Bin Affan suasana menjadi tidak kondusif dikarenakan Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Keluarganya banyak dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman bisnis mereka, mempunyai pengetahuan administrasi kepemimpinan. Pengalaman mereka inilah yang dimanfaatkan dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia masuk ke dalam kekuasaan Islam. Pakar sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Usman pun mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Bahkan gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar Ibn al-Khattab, dilengserkan oleh Usman. Sepak terjang politik yang syarat nepotisme inilah memicu reaksi yang tak menguntungkan bagi Usman sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang semula mendukungnya, mulai meninggalkan Khalifah ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi Khalifah mulai memanfaatkan momentum. Perasaan tak senang pun muncul di daerah-daerah, termasuk dari Mesir yang meletup pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini.
Usman pun wafat. Ali, sebagai calon terkuat, menjadi Khalifah keempat. Sebagai pengganti baru, jalan Ali sebagai Khalifah tak selurus yang diduga. Segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Aisyah. Tantangan dari ketiga orang ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran di Irak tahun 656 M. Thalhah dan Zubair mati terbunuh, Aisyah dikirim kembali ke Mekkah. Tantangan kedua datang dari Muawiyah, Gubernur Damaskus, keluarga dekat Usman. Muawiyah pun tak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Ia menuntut Ali agar menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.
Pada rentang berikutnya kedua kelompok ini terlibat pertempuran di Siffin, tentara Ali dapat mendesak Muawiyah. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, Amr Ibn Ash yang terkenal licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas kepala. Qurra’ (para sahabat penghapal al-Qur’an yang ada di pihak Ali mendesak Ali agar menerima tawaran itu.Selanjutnya dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase yaitu dengan hakim.
Sebagai penengah diangkat dua orang: Amr Ibn Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-‘Asy’ari untuk Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan keimanan Abu Musa. Keduanya bermufakat untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Muawiyah.
Peristiwa ini merugikan Ali sekaligus menguntungkan Mu’awiyah. Dengan adanya arbitrase itu Muawiyah, yang tadinya Gubernur Daerah, naik menjadi Khalifah tak resmi. Jelas keputusan ini ditolak Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, hingga akhirnta ia mati terbunuh pada tahun 661 M.
Nah sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash untuk mengadakan arbitrase inilah yang memunculkan polemik pro kontra berkepanjangan di barisan pendukung Ali sendiri. Sebagian mereka berpendapat bahwa hal seperti itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Mereka berargumen La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah). Bahkan mereka memandang bahwa Ali telah melakukan kesalahan fatal, oleh karenanya mereka meninggalkan barisannya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders dari Ali.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ia pun menghadapi dua musuh: Muawiyah dan Khawarij. Mulanya Ali berkonsentrasi untuk menghancurkan Khawarij, tetapi setelah mereka kalah, tentara Ali kelabakan meneruskan pertempuran dengan Muawiyah. Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus. Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat Muawiyah dengan mudah memperoleh pengakuan sebagai Khalifah pada tahun 661M dan mendirikan Dinasti Umayah.
Dari persoalan-persoalan politik di atas akhirnya beranjak membawa kepada muculnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang tetap dalam Islam dan siapa yang sudah keluar dari Islam.
Pada aras selanjutnya Khawarij pun pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan berbuat dosa inilah yang kemudian turut andil besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Paling tidak ada tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau murtad, oleh karenanya wajib dibunuh.
Kedua, aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Soal dosa yang dilakukannya, diserahkan pada Allah untuk mengampuni atau tidak.
Ketiga, aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah. Dalam perkembangannya aliran Asy’ariah dan Maturidiah inilah yang kemudian menjelma menjadi paham Ahl Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana banyak dianut muslim Nusantara.
No comments:
Post a Comment