Pengaruh filsafat dalam
perpolitikan di dunia Islam telah dimulai dizaman Mutakallimin. Sebelum kita
bicarakan panjang lebar tentang mazhab-mazhab Mutakallimin, maka perlu kita
peringatkan bahwa dalam pembahasan-pembahasan Mutakallimin ini umumnya tidak
ada pembicaraan mendalam tentang kejadian alam. Hal ini terjadi karena tidak
ada perbedaan secara mutlak diantara para Mutakallimin tentang kejadian alam.
Dimana pembahasan tentang yang Ada ini hanya terdiri dari dua macam yaitu Al
Khalik (Tuhan Pencipta) dan Al Makhluk.(alam semesta termasuk manusia). Alam
semesta ini terjadi adalah semata-mata dengan sebab dijadikan Allah (tuhan
Pencipta), bukan terjadi dengan sendirinya dan bukan disebabkan oleh sesuatu
selain Allah.Mengenai bagaimana tingkatan-tingkatannya kejadian alam semesta
itu, mana yang dulu dan mana yang kemudian, dan bagaimana jalan evolusinya itu,
ataukah terjadinya itu hanya sekaligus saja, maka hal ini pada umumnya
dibicarakan sekadarnya saja oleh para Mutakallimin seperti kaum Mu’tazilah dan
golongan Al Asy’ari. Pembicaraan yang berani dan bertele-tele tentang detailnya
kejadian alam itu terdapat pada periode Filsafat Islam oleh Al Farabi dan Ibnu
Sina, mereka yang banyak terpengaruh oleh filsafat klassik Yunani. Pembicaraan
mereka tentang inilah nanti yang menyebabkan Al Ghazali sangat menentang
pembahasan filsafat, sebab dianggap hanya membingungkan saja.
Mengenai ilmu Tauhid, yakni suatu
rumusan ilmu tentang kepercayan (Aqa’id) yang sesuai menurut ajaran Islam,
terutama soal qadar Tuhan (kekuasaan Tuhan dalam menentukan nasib manusia)
adalah akibat persoalan dalam kalangan Islam sendiri, bukan dari pengaruh agama
Nasrani. Sebagai titik permulaan dari persoalan ini adalah munculnya pendapat
Al Khawarij yang telah mencela sikap Khalifah Ali yang mau berdamai dengan
Muawiyah dalam perang Siffin.
Dasar timbulnya kaum Khawarij
adalah soal politik. Lalu berubah menjadi soal dogmatik theologies. Mereka
menuduh Khalifah Ali bin Abi Thalib lebih percaya pada putusan manusia dan
mengesampingkan putusan Allah. Karena itu Khalifah Ali dianggap berdosa besar
terhadap Allah. Bahkan dianggap bukan muslim lagi (kafir). Pendapat khusus
tentang Ali ini lalu menjadi pendapat umum kaum Khawarij:
“Setiap orang dari
ummat Muhammad SAW yang terus meneru berbuat dosa besar dan hingga matinya
belum juga tobat, maka orang itu dihukum mati kafir dan kekal dalam neraka”.
Terhadap kewajiban patuh pada Khalifah (Ulil Amri) mereka berpendapat: “Boleh tidak mematuhi peraturan-peraturan khalifah bilamana Khalifah itu ternyata seorang yang zalim atau khianat”.
Terhadap kewajiban patuh pada Khalifah (Ulil Amri) mereka berpendapat: “Boleh tidak mematuhi peraturan-peraturan khalifah bilamana Khalifah itu ternyata seorang yang zalim atau khianat”.
Sejak itu timbullah masa
pemikiran kritis dikalangan umat Islam tentang apakah Islam itu dan sebagainya.
Yang lama-lama menjadi soal pembahasan dikalangan ulama-ulama Islam dan
melahirkan bermacam-macam mazhab theologies (mutakallimin). Sama seperti
munculnya Khawarij, mazhab Murjiah timbul setelah ibukota kerajaan Islam pindah
ke Damsyik (sebab politik). Banyak dari Khalifah-khalifah Bani Umayah dianggap
sangat mengesampingkan agama Islam, bertindak sangat kejam dan berbuat dosa.
Dalam persoalan ini kaum Murjiah menjawab bahwa;
“Seorang muslim boleh saja
melakukan sholat di belakang seseorang yang baik maupun sholat di belakang
seseorang yang jahat. Walaupun Khalifah-khalifah itu kejam namun mereka tetap
Muslim juga”.
Kaum Murjiah menganggap bahwa
keputusan tentang baik dan buruknya seorang Khalifah adalah urusan Tuhan dan
bukan urusan manusia. Dari segi politik, dogma theologies ini sangat
menguntungkan posisi Bani Umayah. Pendapat ini jelas merupakan kebalikan dari
pendapatnya Khawarij. Dogma Murjiah ini mendapat reaksi secara dogmatic pula
dari Qadariah (689 M, di Irak, masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan). Kaum
Murjiah berpendapat kalau Khalifah Umayah membunuh orang, itu sudah ditakdirkan
Tuhan. Kemudian kaum Qadariah membatasi qadar itu. Menurut Qadariah: “Kalau Tuhan itu adil, maka Tuhan akan menghukum
orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Dan
manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan
yang baik atau jahat. Kalau Tuhan itu telah menentukan lebih dulu nasib
manusia, maka Tuhan itu zalim. Jadi manusia harus merdeka memilih perbuatannya.
Manusia mempunyai kebebasan kehendak”. “Orang-orang yang mengajarkan bahwa amal
perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung pada qadar Allah saja, dan
selamat atau binasanya seseorang itu telah ditentukan oleh Allah sebelum orang
itu masuk dunia, adalah sesat. Sebab pengajaran seperti itu bererti menentang
ke-Utamaan Allah dan berarti menganggap Tuhan pula yang menjadi sebab
kejahatan-kejahatan dari amal manusia”.
Pada masa yang sama dengan
Mazhab Qadariah muncul pula Mazhab Jabariah (Khurasan, Persia) yang bersifat
thesa dan anti thesa satu sama lain. Daerah timbulnya juga tidak berjauhan. Ini
pun ada bingkai politik. Jabariah berpendapat bahwa :
“Hanya Allah sajalah
yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Tergantung qodrat
dan iradat Allah. Pada hakikatnya segala pekerjaan dan gerak-gerik yang kita
lakukan adalah dari Allah SWT. Sedangkan sorga dan neraka itu hanyalah sebagai
bukti saja dari tanda kebesaran Allah dalam qadrat dan iradatnya”.
Dalam hal ini Jabariah mendapat
serangan yang luar biasa dari mazhab Qadariah dan Ahli Sunnah Waljamaah. Tentu
saja kaum Jabariah mengakui ada-Nya Allah sebagai wajibal wujud yang
menciptakan sekalian alam ini. Tetapi perselisihannya dari pendapat Ahli sunnah
nanti ialah mengenai bagaimana mensifatkan wujud Allah itu. Berlainan dari Ahli
Sunnah, mereka mencukupkan saja sifat-sifat keutamaan Allah itu dengan sifat
wujud-Nya saja. Menurut Jabariah: “Dalam
sifat wujud Allah SWT, telah tercakup segala sifat keutamaan Allah yang
lainnya”.
Berbeda dari Qadariah, mazhab
Mu’tazilah mendapat pengikut lebih luas dalam kalangan ulama. Beberapa Khalifah
yaitu Al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsik telah mengakui mazhab Mu’tazilah
sebagai mazhab negara (913-947 M). Al Makmun berjasa besar dalam memajukan ilmu
pengetahuan dengan penterjemahan buku-buku Yunani, Persia, dsb. Dan pada masa
inilah lahirnya ilmu figh, ushul diqh, tafsir dan ilmu hadis. Dan sekitar masa
ini pula timbulnya tokoh-tokoh Ahli Sunnah Waljamaah seperti Abu Hanifah
(699-767 M), Malik bin Anas (711-786), Muhammad bin Idris As Syafii (767-819),
dan Ahmad bin Muhammad bin Hambal (779-855 M). Mazhab Mu’tazilah berpendapat
bahwa : “Seorang muslim yang berdosa
besar adalah tidak mukmin dan tidak kafir tetapi diantara keduanya”. Menurut
Mu’tazilah, “Agama itu berakar pada dua pokok yaitu Wahyu Allah (Al Qur’an) dan
Akal Manusia”. Bagi Mu’tazilah: “Akal
adalah sumber pengetahuan. Oleh karena itu manusia harus menaruh keraguan
terhadap apa saja. Dalam keraguan itu, pengalaman panca indera adalah sumber
pengetahuan yang paling rendah.Sumber pengetahuan yang tertinggi ialah akal.
Segala kepercayaan tradisionil yang tidak berdasar harus dibuang dari kehidupan
umat Islam. Hadis harus diterima dengan keraguan lebih dulu. Al Qur’an pun
harus diterima dengan kritis dalam menafsirkannya, sebab banyak ayat-ayat Al
Qur’an yang memakai pengertian perlambang. Pengertian sorga dan neraka jangan
diartikan materialistis seperti kebendaan duniawi. Dan shiratalmustakim
bukanlah jalan biasa antara sorga-neraka, tetapi harus diartikan sebagai
perlambang saja”. Etika yang ditawarkan Mu’tazilah:Bahwa “Segala paham yang tidak cocok dengan
keadilan Tuhan haruslah dihilangkan dan dibuang jauh-jauh”. Seperti kaum Qadariah
mereka berpendapat bahwa “Demi keadilan Tuhan, manusia harus diganjar amal
perbuatannya. Karena itu, manusia harus mempunyai kebebasan untuk berbuat
apapun”. Menurut Mu’tazilah: “Jika
manusia tidak tidak merdeka dalam perbuatan-perbuatannya maka adalah tidak adil
jika Tuhan minta pertanggung jawaban dari manusia. Jadi, berbuat adil adalah
wajib bagi Allah”.
Dalam soal ini Mu’tazilah jelas
tidak sepaham dengan Ahli Sunnah. Menganai kekuasaan Allah itu adalah mutlak
tak terbatas (absolut). Jika wajib melakukan, maka itu diartikan Ahlu Sunnah
bukanlah absolut lagi, sebab telah dibatasi. Mu’tazilah berpendapat bahwa:
“Allah menciptakan alam ini adalah dengan maksud Baik (Al Ishlah). Allah menciptakan manusia adalah supaya manusia berbahagia. Karena itulah Allah mengirimkan wahyu pada Nabi untuk menuntun manusia menuju kebahagiaan. Pengiriman Nabi itu bukah rahmat semata, tetapi adalah suatu hal yang wajib adanya demi kebahagiaan manusia. Dalam hal ini, manusia merdeka untuk mentaati tuntunan itu atau tidak. Manusia yang menurut akandiberi anugerah, sedang yang tidak menurut akan diberi hukuman. Kalau manusia berbuat baik tetapi sengsara didunia, maka pasti mendapat anugerah Allah SWT di akhirat. Keadilan Allah itu berlaku untuk seluruh manusia, Muslim atau bukan Muslim, serta seluruh makhluk dan isi alam semesta”.
“Allah menciptakan alam ini adalah dengan maksud Baik (Al Ishlah). Allah menciptakan manusia adalah supaya manusia berbahagia. Karena itulah Allah mengirimkan wahyu pada Nabi untuk menuntun manusia menuju kebahagiaan. Pengiriman Nabi itu bukah rahmat semata, tetapi adalah suatu hal yang wajib adanya demi kebahagiaan manusia. Dalam hal ini, manusia merdeka untuk mentaati tuntunan itu atau tidak. Manusia yang menurut akandiberi anugerah, sedang yang tidak menurut akan diberi hukuman. Kalau manusia berbuat baik tetapi sengsara didunia, maka pasti mendapat anugerah Allah SWT di akhirat. Keadilan Allah itu berlaku untuk seluruh manusia, Muslim atau bukan Muslim, serta seluruh makhluk dan isi alam semesta”.
Mengenai persoalan baik dan
buruk, kaum Mu’tazilah bertentangan denga Ahli Sunnah. Menurut Ahli Sunnah: “Apa yang diperintahkan Allah SWT adalah
baik (hasan), dan apa yang dilarangnya adalah buruk”. Jadi, penilaian baik dan
buruk adalah tergantung pada perintah dan larangan Tuhan. Padahal, Mu’tazilah
berpendapat bahwa: “Pengertian baik dan buruk itu adalah mutlak atas dirinya
sendiri. Karena sesuatu itu adalah baik, maka Allah memerintahkannya. Dan
karena sesuatu itu adalah buruk maka Allah melarang melakukannya. Untuk
mengetahui perbedaan baik dan buruk itu manusia diberi akal disamping wahyu.
Wahyu (Al Qur’an) dan Akal inilah akar pokok agama”. Metafisika Mu’tazilah : Bahwa “Segala fikiran yang membahayakan Ke-Esa-an
Allah harus dibuang jauh-jauh. Allah sendiri lah Sang Pencipta (Al Khalik)
sekalian alam. Allah yang berbuat dan Allah yang menentukan segala yang
terjadi. Allah juga yang mengadakan pemeliharaan-pemeliharaan khusus bagi
tiap-tiap oknum”. Dimisalkan, “Kalau terjadi perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita kemudian lahir daripadanya seorang anak, maka itu
bukanlah semata-mata karena bercampurnya benih jantan dan benih betina dari
keduanya (seperti pendapat Aristoteles), tetapi terjadinya bayi itu adalah atas
ciptaan Allah. Tanpa ciptaannya tidak mungkin benih-benih itu tumbuh”. Menurut
Aristoteles, peristiwa seperti itu adalah detail yang tidak lagi ditangan
Tuhan. Hal itu telah terserah pada kuasa hokum alam. Sedang Tuhan hanya
menguruskan pemeliharaan yang umum atau garis besarnya saja. Bagi Mu’tazilah,
hukum alam yang berdiri sendiri tidak ada. Hukum alam sebenarnya adalah
sunnatullah. Karena itu, Mu’tazilah menolak keabadian hukum alam. Hukum alam
dapat berobah setiap Allah menghendaki.
1.
Tauhid
Mu’tazilah menentang cara-cara anthropo-morphisme yang
membayangkan Allah sebagai manusia (tajsim). Dan mengenai sifat-sifat Allah,
mereka tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT yang berdiri sendiri. Kalau Allah
itu mempunyai sifat maka sifat-sifat itu adalah abadi. Kalau sifat-sifat itu
abadi maka berarti disamping Allah itu ada pula hal-hal yang abadi. Kalau
disamping Allah SWT ada hal-hal yang abadi, maka itu menyalahi tauhid dalam
agama Islam.
Menurut Mu’tazilah, Yang abadi itu hanya Allah saja. Dia
Maha Esa, Al Wahid, Al Ahad. Dan karena Allah itu Satu, maka Allah itu tidak
boleh dibayangkan mempunyai sifat, baik sifat yang didalam Allah ataupun sifat
diluar Allah. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu tahu karena pengetahuan atau
hidup karena kehidupan.
Apa yang
disebut atau dianggap sifat itu tidak dapat dipisahkan dari Allah SWT sendiri.
Allah tahu sama dengan Allah berkuasa, sama dengan Allah hidup, sama dengan
Allah melihat, mendengar, dan sama saja dengan Allah itu ada.
Mu’tazilah
berpendapat bahwa “Kita percaya bahwa Allah itu ada, karena adanya akal kita
yang telah diciptakan Allah untuk kita sehingga kita mengenal Allah SWT itu
ada. Dengan akal lah kita mengenal kebenaran dan dengan akal lah kita dapat
meraih kebahagiaan”.
Dalam soal ini
Ahli Sunnah mengatakan bahwa “Manusia wajib percaya bahwa Allah itu ada karena
ada dalam Al Qur’an dan ada dalamHadis (diajarkan Nabi Muhammad SAW)”. Kalau
ada kertas maka mesti ada yang membuat kertas , kalau ada pembuat kertas mesti
ada Pembuat dari pembuat kertas. Jadi, kalau ada suatu kejadian mesti ada sebab
yang menyebabkan. Kalau ada sebab maka harus ada yang menyebabkan sebab itu.
Begitu seterusnya. Kalau kita tidak mengadakan suatu “akhir” maka kita akan
berbicara absurd (sia-sia tanpa hasil). Harus ada Sebab Pertama dari segala
yang ada, dan causa prima itu adalah Allah SWT.
2.
Al Qur’an
Mengenai
kejadian Al Qur’an, Mu’tazilah berselisih besar dengan Ahli Sunnah, yang
menjadi salah satu alasan penyebab jatuhnya Mu’tazilah. Mulanya hal itu
berpangkal pada tafsir bagaimana kita mengartikan Allah berkata. Apakah Allah
berkat-kata seperti manusia?
Ahli Sunnah berpendapat : “Firman Allah itu bersifat abadi, tak pernah berhenti atau putus. Sama seperti Qodrat dan ilmu. Tanpa awal dan akhir. Dan karena Al Qur’an itu adalah firman Allah, maka Al Qur’an pun bersifat abadi,, tidak punya awal dan ke-akhir-an. Jadi senantiasa ada dan tidak putus”. Mu’tazilah membantah demikian: “Suara Allah dalam firman-Nya itu adalah tercipta pada suatu saat dengan benih ciptaan tertentu dan suara yang diciptakan Allah itulah yang terdengar oleh Muhammad SAW. Jadi suara itu bukan sifat Allah, bukan suara yang abadi dan bukan suatu atribut allah. Suara Al Qur’an adalah makhluk-Nya, dengan makhluk ini Allah menerangkan kehendak-Nya. Makhluk ini tidak abadi. Yang abadi hanyalah Allah semata. Tidak mungkin ada yang kekal selain Allah SWT”.
Ahli Sunnah berpendapat : “Firman Allah itu bersifat abadi, tak pernah berhenti atau putus. Sama seperti Qodrat dan ilmu. Tanpa awal dan akhir. Dan karena Al Qur’an itu adalah firman Allah, maka Al Qur’an pun bersifat abadi,, tidak punya awal dan ke-akhir-an. Jadi senantiasa ada dan tidak putus”. Mu’tazilah membantah demikian: “Suara Allah dalam firman-Nya itu adalah tercipta pada suatu saat dengan benih ciptaan tertentu dan suara yang diciptakan Allah itulah yang terdengar oleh Muhammad SAW. Jadi suara itu bukan sifat Allah, bukan suara yang abadi dan bukan suatu atribut allah. Suara Al Qur’an adalah makhluk-Nya, dengan makhluk ini Allah menerangkan kehendak-Nya. Makhluk ini tidak abadi. Yang abadi hanyalah Allah semata. Tidak mungkin ada yang kekal selain Allah SWT”.
Mu’tazilah
adalah golongan yang amat kritis, bukan saja terhadap cara-cara penafsiran Al
Qur’an dan Hadis tetapi juga kritis terhadap pengaruh-pengaruh ajaran filsafat
klassik Yunani (Aristoteles dan Neo-Platonisme). Sebelum timbulnya
mazhab-mazhab di atas, orang belum mengkhususkan suatu mazhab dengan istilah
“Ahli Sunnah wal Jama’ah (ASWAJA)”, sebab semua umat Islam dianggap sebagai
ahli sunnah Nabi SAW. Tetapi ketika timbul bermacam-macam mazhab ilmu kalam,
terutama aliran Mu’tazilah yang amat meragukan kebenaran sunnah Nabi dan ingin
menafsirkan Al Qur’an dengan filsafat saja, maka sebagai reaksinya timbullah
gerakan yang dinamakan Ahli Sunnah wal Jama’ah ang ingin membela sunnah Nabi
dikalangan ummat mayoritas Islam. Mula-mula Ahli Sunnah dipimpin oleh
tokoh-tokoh yang lebih mementingkan dalil-dalil nakliah Qur’an dan Hadis saja
daripada dalil-dalil akali yang berdasar logika. Sehingga mazhab ini sangat
kolot dan mundur dalam hal intelektulisme. Setengah abad kemudian barulah
mazhab ini mendapatkan dasar-dasar dogmatic yang kuat dalam menghadapi filsafat
theologies kaum Mu’tazilah. Waktu itu ada dua ulama besar yang pendapat-pendapatnya
dapat diterima sebagai pendapat Ahli Sunnah yaitu Abul Hasan Al Asy’ari
(873-935M) dan Abu Manshur Al Maturidi (wafat 944 M). Bilau-beliau inilah yang
menyusun teori dogmatiknya dengan sangat mengindahkan penyesuaian antara Al
Qur’an dan Hadis dengan logika akal. Pendapat kedua ulama ini terutama Al
Asy’ari amatlah berpengaruh dan diterima oleh mazhab Ahli Sunnah sesudahnya.
Meskipun dibanding pendapat Ahli Sunnah sebelumnya, pendapat Al Asyari itu
ternyata banyak juga perbedaannya. Berikut ini dijelaskan pendapat-pendapat
Ahli Sunnah sebelum masa Al Asy’ari serta pendapat-pendapat Ahli Sunnah menurut
Al Asy’ari dan Al Maturidi.
3.
Etika Ahli Sunnah :
Menurut Ahli
Sunnah: ”Apa yang diperintahkan Allah itu baik dan apa yang dilarang itu
buruk”. Hal ini berarti tidak ada kebaikan yang mutlak dan tidak ada kejahatan
yang mutlak karena semua itu hanyalah menurut perintah Allah saja. Ahli Sunnah
meyakini bahwa:
“Orang-orang yang mengerjakan dosa besar atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama apabila sampai mati belum tobat, mereka dihukumkan sebagai orang mukmin yang melakukan maksiat. Diakhirat kelak Allah berkuasa mengampuninya. Tetapi apabila tidak diampuni Allah, mereka akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Dan apabila azab hukuman itu telah dijalani, mereka mempunyai harapan besar untuk masuk surga”.
“Orang-orang yang mengerjakan dosa besar atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama apabila sampai mati belum tobat, mereka dihukumkan sebagai orang mukmin yang melakukan maksiat. Diakhirat kelak Allah berkuasa mengampuninya. Tetapi apabila tidak diampuni Allah, mereka akan masuk neraka untuk menjalani hukumannya. Dan apabila azab hukuman itu telah dijalani, mereka mempunyai harapan besar untuk masuk surga”.
Artinya mereka tidaklah kekal di
dalam neraka. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah. Menurut
Mu’tazilah: “Orang yang berdosa besar dan meninggalkan kewajibannya dan tidak
tobat maka hukumnya fasik. Dan orang fasik itu kekal di neraka”.
Ahli Sunnah menganggap:
Ahli Sunnah menganggap:
“Kekuasaaan Allah itu absolut tak terbatas. Dan keadilan itu terletak
pada kehendak-Nya”. Sedangkan Mu’tazilah mengatakan bahwa; “Allah itu wajib
adil”. Sedangkan menurut Ahli sunnah: “Wajib
itu tidak ada bagi Allah. Sebab kalau Allah diwajibkan melakukan sesuatu maka
itu berarti kekuasaan-Nya telah terbatas. Kalau Allah mengirimkan Nabi-Nabi
maka itu bukan lah kewajiban Allah, tetapi hanya rahmat-Nya semata bagi makhluk-Nya”.
Dalam hal ini harus dimaknai
bahwa segala perbuatan Allah itu tidak ada yang hampa dan tidak pernah kosong
dari hikmah kebijaksanaan walaupun akal manusia belum atau tidak dapat
menangkapnya.
Ahli Sunnah mengakui bahwa:
“Setiap orang memang benar memiliki kasab (usaha) dan ikhtiar
(pemilihan bebas) dalam segala perbuatannya, tetapi hal itu tidak bisa lepas
daripada qadar yang ditentukan Allah dan tidak bisa lepas dari pengetahuan dan
kehendak-Nya”.
Harus dimaknai bahwa manusia
hanya sekedar mempunyai ikhtiar, hasrat, dan niat dalam segala amal
perbuatannya itu. Dan inilah yang dinamakan kasab itu. Akan tetapi, meskipun
segala perbuatan manusia itu semuanya daripada Allah SWT namun tidaklah
sewajarnya kalau hal itu berarti Allah menghendaki perbuatan jahat seperti yang
dikatakan kaum Qadariah.
Selanjutnya dikatakan Ahli Sunnah bahwa:
Selanjutnya dikatakan Ahli Sunnah bahwa:
·
“Iman adalah kepercayaan didalam hati yang
diucapkan dengan lisan, sedang amal perbuatannya merupakan syarat sempurnanya
iman itu”
·
“Orang yang berbuat dosa besar kemudian
meninggal belum bertobat, hukumnya terserah pada Allah”
Metafisika Ahli Sunnah:
Dalam soal metafisika inilah
tamapak jasa besar Al Asy’ari dan Al Maturidi dalam merasionalisir faham Ahli
Sunnah. Banyak terdapat perbedaan antara ulama Ahli Sunnah sebelum dan
sesudahnya. Alam pikiran mazhab Ahli Sunnah sendiri berobah setelah zaman Al
Asy’ari dan Al Maturidi ini. Jasa Al Asy’ari dan Al Maturidi akan kita simak
terutama dalam soal adanya Allah (Tuhan), Al Qur’an, Tauhid, dan Kejadian Alam.
Adanya Tuhan:
Apa sebabnya manusia harus
percaya bahwa Tuhan itu ada?. Mu’tazilah menjawab bahwa akal kita lah yang
menyimpulkan bahwa Tuhan itu ada. Tetapi Ahli Sunnah (lama) menjawab, kita
wajib menganggap Tuhan itu ada sebab diajarkan oleh Nabi Muhammad dan tersebut
dalam Al Qur’an. Kemudian Al Maturidi menjawab soal ini: “Kita wajib percaya
bahwa Tuhan itu ada adalah karena perintah Tuhan. Dan perintah ini dapat kita
tangkap dengan akal. Jadi akal itu bukanlah sumber, tetapi hanyalah alat saja
untuk mengetahui”.
Mengenai sifat-sifat Tuhan, Ahli
Sunnah mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kesempurnaan yang tak berbeda
dari dhzat-Nya sendiri yaitu abadi. Al Asy’ari mengatakan: “Allah itu
mengetahui oleh karena pengetahuan, yang tak berbeda daripada dhzat Tuhan”.
Istilah “oleh karena” menunjukkan kalimat instrumentalis (sebagai alat).
Mu’tazilah,seperti kita ketahui, menganggap pendapat-pendapat ini syirik. Al
Maturidi mendukung pendapat Al Asy’ari soal ini dengan: “Tuhan mengetahui
dengan mempunyai pengetahuan yang abadi juga. Jadi pengetahuan bukan lagi
sebagai alat”. Mu’tazilah menjawab: “Kalau pengetahuan itu abadi maka itu juga
berarti syirik, sebab ada yang abadi lain disampng Tuhan”.
Bagi Ahli Sunnah, keabadian
sifat-sifat itu bukan berarti berdiri diluar dhzat Allah. Allah tetap Maha Esa
dan Abadi dengan sendirinya. Ke-Esa-an itu sendiri dilihat dari bermacam-macam
segi. Sifat-sifat itu hanya mengisi pengertian kesempurnaan. Faham Al Asy’ari
dan Al Maturidi dala beberapa hal adalah synthesa antara Mu’tazilah dan Ahli
Sunnah yang lama. Al Asy’ari sendiri mulanya selama 40 tahun merupakan salah
seorang ulama Mu’tazilah sebelum beliau masuk golongan Ahli Sunnah. Akal yang
dipentingkan oleh Mu’tazilah diambil Al Asy’ari. Pengikut Al Asy’ari (ASWAJA)
berpendapat :”Manusia harus memakai nazhar bahwa untuk mengetahui Tuhan itu
harus menggunakan akalnya. Tidak boleh taklid saja”. Pendapat golongan Al
Asy’ari ang tidak disetujui Ahli Sunnah ialah tentang membersihkan pengertian
Tuhan dari tajsim (anthropo-morphisme). Seperti Mu’tazilah, kita (pengikut Al
Asy’ari) juga melakukan takwil tentang istilah-istilah tajsim itu. Misalnya
kata aidin yang tersebut dalam Al Qur’an “wa banainaha biaidin” (Kami jadikan
langit itu dengan tangan). Aidin tidak boleh disamakan dengan tangan manusia.,
tetapi kekuasaan Allah. Golongan pengikut Al Asy’ari (ASWAJA) ini digolongkan
sebagai ulama Khalaf dan yang sebelumnya adalah ulama Salaf dalam klassifikasi
Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Tentang al Qur’an :
Ahli Sunnah sebelum Al Asy’ari berpendapat
: “Apa yang terdapat diantara kulit itu adalah firman Allah”. Artinya, bahwa
huruf-huruf yang ditulis dengan tinta itu juga adalah qadim dan abadi. Dan yang
kita dengar adalah dari orang yang membacanya itu adalah firman Tuhan yang
tidak diciptkan itu. Al Asy’ari berpendapat bahwa “Firman Tuhan itu adalah
abadi, akan tetapi keabadian itu hanya mengenai percakapannya didalam hati atau
aslinya firman itu sebelum bdiucapkan dan dituliskan. Tatkala telah diucapkan
dan dituliskan maka yang kita dengar dan yang kita baca itu adalah
pemberitahuan atau pernyataan dari firman yang asli itu”. Artinya, bahasa dan
tulisan itu adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Pemberitahuan dan pernyataan itu
adalah identik (sama) dengan firman Allah ayang sli, yang tersimpan dalam “lauh
al mahfudz”. Al Qur’an itu tersimpan dalam hati manusia yang arif (ulama). Al
Maturidi berpendapat bahwa “Apa yang tertulis dalam al Qur’an itu adalah firman
Allah, begitu pula apa yang dibacakan dalam masjid dan apa yang dikeluarkan
dengan tenggorokan manusia. Tetapi huruf-huruf yang tertulis itu, lagunya dan
suaranya itu adalah ciptaan (makhluk) dan tidak qadim”.
Tentang Kejadian Alam :
Ahli Sunnah
dapat menerima teori filsafat dari Al Asy’ari, yang sependapat dengan
Demokritus dan plotinus dan sebagainya bahwa dunia ini terdiri dari atom-atom.
Tetapi berlainan dengan filsafat Barat sekarang, Al Asy’ari berpendapat bahwa
atom-atom itu sudah mempunyai sifat sendiri dan tidak dapat berkembang .
Atom-atom itu tidak dapat berobah. Dapat dipisahkan satu sama lain oleh ruang
antara,dan satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi.
Perubahan dalam
dunia ini menurut teori atomistic Barat disebabkan karena atom-atom itu
berkelompok, berkembang, dan berpisah. Itulah yang menyebabkan perobahan dan
pergeseran didalam dunia ini. Segala gerakan atom adalah menuruti suatu hukum
alam yang pasti yang tunduk pada hukum “sebab akibat” dari Aristoteles dan
Neo-Platonisme.
Sebaliknya,
menurut Al Asy’ari perobahan dunia (alam) ini terjadi karena atom-atom tadi
senantiasa msuk dan keluar dari eksistensi (alam “Ada”) ini. Masuk berarti
diciptakan dan keluar berarti ditiadakan/dimusnahkan Tuhan. Jadi, Tuhan
senantiasa menciptakan atom baru. Ringkasnya beliau menolak hokum sebab akibat.
Tuhan baginya bukanlah sebab, tetapi Pencipta, dan Pemelihara. Pengaruh
filsafat Al Asy’ari ini diterima dengan hati-hati oleh Ahli Sunnah kemudian
pada abad 12 Masehi disokong oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
Al Ghazali (1058-1111 M) sehingga faham ini bisa diterima bulat-bulat oleh Ahli
Sunnah. Pelajaran Theologinya ini menjadi rumusan pelajaran Tauhid Ahli Sunnah
hingga sekarang ini yang dapat mengatasi pengaruh mazhab Mu’tazilah.Yang
terkenal misalnya, pelajaran Sifat Dua Puluh.
Sebagian orang
menganggap bahwa Al Ghazali bukan seorang ahli filsafat tetapi seorang ahli
tasawuf. Alasannya karena Al Ghazali dalam bukunya “Tahafutul Falasifah” telah
menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dab golongan Islam
sendiri, dan dengan terang-terangan pula menganggap bahwa akal dan filsafat
bukanlah alat yang paling utama baginya.
Sesungguhnya
anggapan Al Ghazali itu tidak benar. Pun bagi kita sendiri yang telah belajar
dari Al Ghazali. Kalau Al Ghazali tidak bersandar pada akal dan filsafat semata-mata,
maka itu tidak perlu diartikan bahwa Al Ghazali telah menentang pemakaian akal
dan amal filsafat itu sendiri. Malahan, seluruhprestasi Al Ghazali adalah hasil
akal dan karya filsafatnya yang beliau sesuaikan dengan prinsip-prinsip agama
Islam.
Memang benar
jika mistik atau tasawuf umumnya lebih memakai perasaan daripada pemikiran,
akan tetapi dala tasawuf Al Ghazali jelas sekali adanya faktor pemikiran yang
senantiasa tampak daripada faktor perasaan. Hal ini sesuai dengan tuntunan
aya-ayat Al Qur’an tentang pentingnya akal. Sikap Al Ghazali yang seperti itu dapat kita maklumi sebagai dampak dari
bias-bias politik dalam berbagai pemikiran filsafat Islam, termasuk tasawuf nya
Al Ghazali, terutama dalam perseteruan antara ijra-ul-adat (Al Ghazali dan Al
Asy’ari) dengan pengaruh hukum Causal di dunia Islam, terutama daerah Maghribi.
Hal ini terus berlangsung dan jelas terlihat dalam sejarah perseteruan antara
Bani Umayah yang dijatuhkan Bani Abbas (750 M). Bani Abbas berpusat di Baghdad,
berjaya antara 750-850 M sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Kondisi tersebut memicu kerajan Islam di Andalusia (Spanyol) untuk mengejar
ketertinggalannya.
No comments:
Post a Comment