PENDAHULUAN
Negara Islam
Indonesia (disingkat NII;
juga dikenal dengan nama Darul Islam
atau DI) yang artinya adalah
"Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus
1949 (ditulis sebagai 12
Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong,
Tasikmalaya,
Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya
dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda
sebagai negara teokrasi agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam
undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan
"Hukum yang tertinggi adalah Al Quran
dan Hadits".
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara
untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan
penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang
mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
dengan
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa
wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah),
Sulawesi
Selatan dan Aceh.
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi
terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai
organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.
Gerakan DI/TII Daud Beureuh ( ACEH )
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan
"Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian
"Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada
tanggal 20 September
1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai
"Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer
pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia
berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat
pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas
Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh
juga berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa
waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian
besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera
Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan
ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud
Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir
Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa
Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar ( Kalimantan Selatan )
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat
melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar.
Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI
(TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada
mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk
menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah,
akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan
pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI
(TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar
beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan DI/TII Amir Fatah ( Jawa Tengah )
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani
lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI,
namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan
sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan
ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi
pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya
menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah
Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan
mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang
Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir
Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan
yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di
bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini
Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim
Indonesia.
Gerakan DI/TII Kahar Muzakar ( Sulawesi Selatan )
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke
masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade
yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak
karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps
Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil
Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya
melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan
pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus
1953. Tanggal 3 Februari1965, Kahar Muzakkar
tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia
No comments:
Post a Comment