Di negeri ini, ternyata kalimat disiplin
masih menjadi momok sebagian kalangan. Disiplin acap kali diartikan secara
negatif. Bagi sebagian orang disiplin dipandang sebagai hukuman. Dalam sebuah
organisasi, lembaga atau perusahaan, sering kali kalimat “perlu didisiplinkan”
dimaknai sebagai tindakan tegas yang tak lain adalah hukuman. Di kalangan
ilmuwan manajemen, masalah pengembangan kedisiplinan kerja para karyawan,
menurut Paul Hersey, Keneth Blanchard, dan Dewey F Johnson dalam Management of
Organizational Behavior memang merupakan salah satu masalah yang cukup sulit
yang dihadapi seorang pemimpin dalam mengembangkan kinerja pegawai.
Salah satu penyebabnya, ya itu tadi, disiplin
sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif atau sebagai sebuah hukuman. Padahal,
disiplin memiliki makna positif, khususnya jika ditelaah dari makna asal kata
disiplin tersebut. Disiplin berasal dari kata disciple yang memiliki arti
learner.
Dengan landasan pemikiran seperti inilah,
mereka menyebutnya dengan istilah constructive discipline yang berbeda dengan
disiplin sebagai sebuah hukuman (punitive discipline). Pengertian disiplin yang
bermakna positif ini dikemukakan pula Soegeng Prijodarminto dalam
bukunya,Disiplin Kita Menuju Sukses. Menurutnya, disiplin adalah: Suatu kondisi
yang tercipta dan terbentuk melalui proses serangkaian perilaku yang
menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan, dan atau
ketertiban.
Karena sudah
menyatu dengan dirinya, sikap atau perbuatan yang dilakukannya bukan lagi atau
sama sekali tidak dirasakan sebagai beban, bahkan sebaliknya akan membebani
dirinya bilamana ia berbuat tidak sebagaimana lazimnya. Definisi yang sangat
menarik tentang disiplin pernah disampaikan seorang ulama besar dari Mesir,
Prof Dr Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud. Menurut beliau, disiplin atau dalam
bahasa Arabnya disebut indhibath adalah “mewujudkan pelaksanaan atas tuntutan
tugas atau mengendalikan suatu realitas atas tuntunan terjadinya sesuatu yang
bersifat syar’i atau da’awi.
Jadi, kedisiplinan dalam perspektif syar’i
(syariat), artinya diukur berdasarkan kualitas ketaatannya kepada aturan yang
berlaku di lingkungannya sendiri. Jika dilihat dari perspektif da’awi (dakwah),
kedisiplinan ditentukan berdasarkan kualitas keberhasilannya dalam proses pembelajaran
atau peningkatan kualitas pribadi dan sosial setiap anggota organisasi.
Jadi,menurut Syaikh Ali Abdul Halim Mahmud, disiplin adalah salah satu bentuk
ukuran kualitas ibadah.
Seseorang yang kualitas ibadahnya baik,
pastilah disiplinnya baik. Orang yang salat tepat pada waktunya adalah orang
yang juga disiplin dalam mengerjakan segala hal yang menjadi tugasnya. Disiplin
yang paling dahsyat adalah yang berangkat dari iman, dari keyakinan. Orang yang
memiliki etos disiplin dari imannya akan menjalankan tugas dan pekerjaannya
dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, dan penuh kerelaan meskipun tugas itu
berat. Jadi, disiplin adalah salah satu jenis akhlak.
Akhlak akan melekat dalam diri seseorang jika
seseorang itu melakukannya berulang- ulang, sampai akhirnya menjadi karakter.
Karakter akan mengkristal menjadi akhlak. Karenanya,disiplin harus diusahakan
dan dilatih terus-menerus. Di kalangan pakar manajemen, ada dua pendapat dalam
menjelaskan proses pendisiplinan kepada karyawan atau pegawai: Pertama, ada
yang mengatakan bahwa disiplin itu harus muncul dari dalam diri sendiri.
Prijodarminto dalam hal ini mengatakan bahwa
disiplin harus muncul dari dalam diri sendiri. Disiplin yang muncul dari dalam
diri akan menciptakan kesadaran dan kepatuhan yang alami.Kedua, menyatakan
bahwa disiplin dibentuk karena pengaruh dari luar. Dengan kata lain, maka makna
disiplin itu adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses
perilaku, melalui pelajaran, kepatuhan, ketaatan, kesetiaan, hormat pada ketentuan/peraturan
dan norma yang berlaku.
Saya sepakat dengan pakar yang berpendapat
bahwa hidup disiplin adalah sebuah kepribadian fitrah manusia yang harus
ditumbuhkembangkan dengan pola pembelajaran. Atau dengan kata lain, belajar dan
pembelajaran adalah sebuah proses aktualisasi nilai-nilai hidup disiplin pada
diri seseorang sehingga mampu mengembangkan dirinya ke arah pola hidup yang
sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.
Maka benar bahwa disiplin tidak terjadi
dengan sendirinya, melainkan harus ditumbuhkan,dikembangkan, dan diterapkan
dalam semua aspek. Hidup disiplin perlu dikembangkan dalam tiga tahap yang
saling berkaitan: Tahap pertama, stimulasi yaitu proses pembelajaran eksternal.
Karyawan dilatih dan dikembangkan untuk senantiasa hidup berdisiplin.
Tahap kedua adalah proses internalisasi.
Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pembinaan keinsanian sehingga
nilai-nilai disiplin itu menjadi bagian perilaku hidupnya. Tahap ketiga, yaitu
aktualisasi. Setiap karyawan diharapkan mampu mengembangkan potensi
kedisiplinan sebagai kekuatan mental untuk meraih tujuan dan cita-cita
kehidupannya, baik secara individual maupun organisasional. Disiplin seseorang
merupakan produk sosialisasi hasil interaksi dengan lingkungannya, terutama
lingkungan sosial.
Karena itu, pembentukan disiplin tunduk pada
kaidah-kaidah proses belajar. Disiplin masih menjadi musuh bangsa ini, yang
pertama-tama bisa kita usahakan bersama demi kemajuan bangsa ini adalah belajar
untuk bersahabat dengan disiplin. Setelah akrab, kita bisa mencintai disiplin
dan menghayatinya sampai akhirnya menjadi akhlak kita bersama. Karena kita
semua tahu, disiplin adalah salat satu syarat kemajuan dan kejayaan sebuah
bangsa.
Habiburrahman El Shirazy
Budayawan Muda, Penulis Novel Ketika Cinta
Bertasbih
No comments:
Post a Comment